Chapter 2

8.1K 448 6
                                    


-

Hitam.

Semuanya serba hitam, menandakan kedukaan sedang melanda kerumunan ini. Langit pun ikut mendung bersamaan dengan acara pemakaman Mama, seakan ia ikut berduka bersama kami semua. Kemudian rintik air yang kecil pun jatuh membasahi kami yang berpakaian serba hitam, seakan ia sedang menemani tangisan kami. Oh, Mama... Nggak kusangka Mama akan secepat ini pergi dari hidupku, Iky, dan Papi. Nggak kusangka juga aku akan kehilang sosok ibu untuk kedua kalinya. Kuremas panggulan peti kuat-kuat, lalu menurunkannya di atas tanah yang basah.

Mama itu adalah sosok ibu yang baik. Dia penyayang dan penuh kasih di saat bersamaan. Tak pernah sekali pun dia memperlihatkan kesenjangan kasih sayangnya terhadapku dan Iky. Kami berdua seakan sama di matanya, walaupun aku bukanlah darahnya. Terima kasih.

Saat bertemu dengannya untuk pertama kali, aku tahu dia adalah wanita yang baik. Matanya yang begitu teduh, bibirnya selalu tersenyum di saat apa pun, dan cara bicaranya pun lembut, membuatku menyetujui Papi untuk menikah lagi. Yang kupikirkan saat itu adalah bahwa keluargaku akan kembali bahagia, bahwa keluargaku akan kembali utuh seperti sediakala, dan bahwa keluargaku akan kembali penuh kehangatan. Ditambah lagi, satu anggota keluarga akan bertambah di antara kami. Rizky Aulia Pratama, anak manis yang akan menjadi adikku. Aku yakin Mami juga bahagia di atas sana karena aku nggak membiarkan Papi nelangsa memikirkannya sepanjang hidup.

Iky saat itu masih sangat kecil. Saat pertama kali mengenalnya, kesanku padanya adalah dia itu anak yang polos dan sangat pemalu. Takut-takut dia melihatku dan Papi di balik tubuh Mama-nya. Kendatipun begitu, seiring waktu kami saling menyesuaikan diri satu sama lain. Aku memberikan perhatian penuhku padanya, begitu pun sebaliknya Iky padaku. Dan perlahan hal kecil itu membuat kami sangat dekat hingga saat ini. Tak pernah sekali pun aku menganggapnya nggak penting untukku. Bahkan setelah Mama—satu-satunya orang yang telah mengikat hubungan pada kami—pergi ke alam Tuhan sekalipun, aku akan terus menyayangi Iky sebagaimana Mama masih ada di antara kami sebelumnya. Kuharap Mama bahagia di sana melihat kami dari atas sana.

Kami sayang Mama, Ma. Batinku, memandang langit gerimis saat itu. Yang kutahu adalah bahwa Mama sejatinya nggak pernah pergi kemana pun. Dia akan selalu ada di hati kami, terus menjaga kami. Aku tahu.

***

Dingin dan penuh kesepian.

Begitu perasaanku ketika melihat pintu yang mengantung tulisan nama adikku di atasnya. Sudah hari ketiga sejak meninggalnya Mama, Iky seperti layaknya mayat hidup yang mengurung diri dalam sebuah kamar. Nggak mau makan ataupun bicara. Bibirnya yang pucat itu hanya diam, menutup rapat seolah sedang terkunci oleh sesuatu.

Menghela napas sekali, kuputuskan untuk masuk. Kuputar kenop pintu yang terbuat dari stenlis itu. Gelap dan dingin. Benarkah Iky berada di dalam? Sedikit aku merasa ragu mengenainya. Namun, ke mana lagi bocah itu pergi memangnya? Sedari tadi aku terus duduk di meja makan dan hanya melihati pintu kamarnya saja. Pun pintu itu tidak bergerak sama sekali, kamar Iky nggak bersuara seolah nggak pernah ada penghuni di dalamnya.

Kusebut namanya sekali. "Ky? Kamu nggak mau keluar dan makan dulu?"

Nggak ada respon sama sekali.

Ini membuatku bertambah risau. Iky sudah nggak makan selama tiga hari. Dia hanya mau minum susu ataupun air putih. Itu pun jika aku memaksanya. Saat itu, aku dapat melihat matanya yang legam memandang ke arah depan, namun nggak terlihat seperti memerhatikan sesuatu. Iky sudah layaknya nggak punya kehidupan, walaupun sejatinya hayat masih di kandung badan.

"Kalau memang kamu nggak mau keluar, biar aku yang bawa makanannya ke dalam. Kamu makan, ya?" tawarku lagi, namun nggak kunjung mendapat respon darinya, membuatku menghela napas (lagi). Kalau seperti ini, bagaimana akan Mama akan bahagia di atas sana? Pasti dia akan sedih melihat Iky, yang merenungkannya terus-terusan.

Brother Iky [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang