Chapter 3

7K 400 8
                                    


Satyarasis; Hypersexual Syndrom.

Pertama kali aku mendengar Lara berkata begitu, aku sangat-sangat penuh emosi. Maksudku, bagaimana bisa seorang anak kecil yang polos bisa mengalami sindrom yang mengerikan seperti itu?

"Sindrom ini ada karena dua faktor, Ian. Kamu tenang dulu. Nggak hanya faktor psikis tapi juga fisik, misalnya kelainan peradangan pada kandung kemihnya. Ini juga bisa menyebabkan dia haus akan gairah seks kalaulah seandainya kamu bilang dia itu anak polos. Aku ngerti," diagnosanya waktu itu.

"Jadi, menurut kamu aku harus gimana, Ra?"

Lara menegakkan kacamatanya yang sedikit melorot. "Yah, kamu harus bawa dia kemari untuk pastinya gimana. Kita bakal tes fisik dia terlebih dahulu. Kalau memang kandung kemih atau alat seksnya nggak kenapa-napa, baru kita akan telusuri penyebab dari faktor psikisnya."

"Menurutmu begitu, ya?"

Kala itu, aku hanya mampu mengatupkan tanganku saking gugupnya. Ingin saja aku memarahi Lara karena telah mengatakan yang bukan-bukan dan cenderung nggak masuk akal, namun apa dayaku saat itu? Lara bukanlah wanita awam yang bicara tanpa memiliki dasar yang jelas. Dia psikiater dan sekaligus temanku. Memikirkan bahwa dia sedang mempermainkanku, itu sama saja seperti hal konyol. Kalau nggak, untuk apa gelar panjang lebar disematkan dimeja dan ijazahnya? Selain itu, profesi ini sudah digelutinya selama hampir empat tahun.

Diagnosa Lara bukanlah hal yang main-main. Kalaulah memang dia menyuruhku membawa Iky untuk lebih lengkapnya, bagaimana caraku bicara pada Iky? Memberitahu kecurigaanku terhadapnya saja sekalipun nggak pernah kulakukan. Setiap kali dia mengadu, aku cuma akan mengangguk dan berlagak bahwa itu adalah hal yang lumrah. Sebaliknya di dalam hati, aku sudah menaruh terlalu banyak kecurigaan. Dan ternyata kecurigaan itu bukanlah delusi semata.

Senja sudah menutup masanya menjadi malam, namun aku masih senantiasa duduk di depan rumah sakit ini dengan berbagai spekulasi yang hanya bisa kupikirkan seorang. Jika kuberi tahu Iky secara terus terang, pasti dia akan sedih atau paling nggak marah. Yah, dipikirkan saja. Kakak mana yang mengatakan pada adiknya bahwa ternyata dia terkena gangguan semacam itu. Walaupun niat awalku ini sudah jelas baik, nggak menutup kemungkinan goncangan penuh emosi itu muncul di tengah perbincangan.

Kuhembuskan napas sekali. Berpikir terus seperti ini tanpa ada aksi sama saja sia-sia. Bila hal ini akan sangat mengejutkan bocah itu, aku tetap harus melakukannya. Ini demi kebaikannya. Aku hanya ingin Iky sembuh—nggak! Iky nggak sakit. Dia hanya perlu sedikit bantuan dari orang-orang yang disayanginya. Aku tahu.

Jam sudah menunjukan pukul sebelas malam ketika aku tiba di rumah. Sebelum kembali tadi, aku memutuskan untuk mengunjungi Bayu di apartemennya, berniat meminta beberapa saran. Atau lebih tepatnya saran contoh kalimat penyampaian fakta itu—tentang Iky—yang nggak akan menyakiti hatinya. Ck! Intinya aku membutuhkan saran untuk tindakanku lebih lanjut. Sudah!

Menurut Bayu, sama denganku, aku harus tegas dan terus terang pada Iky—iya, Bayu sudah berhasil menebakku saat itu, membuatku nggak bisa mengelak lagi—berharap ia akan mengerti keadaanya dan mau berusaha bersama dalam menghilangkan sindrom ini. Nggak peduli Iky sedih ataupun marah, dia harus tahu yang sebenarnya. Terlebih ini sindromnya sendiri, yang sejatinya hanya dapat ditangani atas izin dirinya dan sembuh atas usaha dirinya. Bukan obat atau dokter semata.

"Kamu malem banget pulangnya, Ian. Habis dari mana?" tanya Papi. Dia baru saja keluar dari kamar Iky, mungkin baru saja menenangkan bocah itu agar dapat tidur nyenyak. Iky sedikit sulit tidur sejak meninggalnya Mama hampir sebulan lalu. Kadang aku akan menunggunya atau menemaninya tidur jika punya kesempatan. Ah, aku sayang pada bocah itu. Sangat.

Brother Iky [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang