Halaman Keenam

772 109 8
                                    

Sore itu mendung, tidak gerimis, apalagi hujan. Tapi begitu aku keluar kelas, ada April di sana, bersandar pada pilar. Aku tau dia sedang menungguku.

Mata kami bertemu, sedetik setelahnya tanganku bergerak melambai ke arahnya. "Udah lama nunggu?" tanyaku.

"Nggak kok, kelas aku baru bubar lima menit lalu," jawab April.

Kami berjalan berdampingan menyusuri koridor. Kami sama-sama tau kalau di luar tidak hujan, tidak juga gerimis, dan entah kenapa kami hanya diam. Tentu aku ingat perjanjiannya, yaitu pulang bareng kalau cuacanya hujan atau setidaknya gerimis. Tapi baik aku maupun April sama-sama tidak mengungkitnya.

April ingin pulang bersamaku, persetan dengan cuacanya. Hanya itu kemungkinan yang kupikirkan.

Aku setuju dengan kamu, Pril. Persetan dengan suasana, aku ingin terus bersamamu setiap saat.

"Kamu pulang naik apa?" tanya April.

Maksud kamu, kita pulang naik apa?

"Kita ke parkiran dulu, gue bawa motor," jawabku.

Langkah kami berdua mulai menginjak aspal luar gedung sekolah menuju lapangan parkir. Sama seperti betapa tiba-tibanya ia berhenti, hujan turun deras detik itu. Langsung deras, nggak pakai rintik-rintik dulu. Hujannya nggak suka basa-basi kayaknya.

Sontak aku mencengkram lengan April, dan menariknya berlari menuju pos satpam. Jaraknya lumayan jauh, makanya begitu sampai kami berdua jadi ngos-ngosan. Aku mengusap wajahku yang basah, lalu melirik April yang juga sedang melakukan hal yang sama.

Mataku melotot, seragam putihnya itu basah terkena hujan. Astaga. Itu adalah mimpi buruk cewek, dan justru mimpi indah bagi cowok. Aku memalingkan wajah sebelum pikiranku menjalar ke mana-mana. Baju kamu jadi transparan, April!

Kamu gimana sih, Pril? Kamu harusnya pakai jaket, sudah tau mendung. Nanti cowok lain liat kalau pakaian dalam kamu itu warna mer--stop! Ardhan, lupakan. Kejadiannya sudah lama, jangan diingat lagi.

Aku mengenyahkan segala macam polaritas negatif yang muncul di otakku. Buru-buru kuhempaskan tas ranselku ke lantai, dan lekas melepas jaket biru tua yang setiap hari selalu melekat di tubuhku. Secepat mungkin aku menyampirkannya di bahu April.

Dia terlihat kaget. "Kenapa Ardhan? Kenapa kasih ke aku jaketnya?" tanyanya.

"Pake aja, 'kan hujan," jawabku sekenanya sembari kembali memakai tasku.

April tersenyum. Dia nggak tau aja aku ngasih jaket karena apa. Huh, salah paham yang indah.

"Pril."

"Iya?"

"Pake yang bener jaketnya."

"Oh, iya."

Kala itu, mataku tak pernah lepas dari April yang sedang memakai jaketku. Gerakannya lambat dan entah mengapa aku suka. Suara letupan air hujan yang menabrak aspal menjadi backsound adegan itu.

"Ardhan," panggil April yang membuatku tersadar dari lamunanku.

"Iya, Pril?"

"Aku kira aku harus ingkar janji hari ini, ternyata nggak. Huh, untung hujannya beneran turun," ucapnya.

"Ingkar janji gimana?" tanyaku.

"Aku janji pulang bareng kamu kalo di luar hujan, dan tadi malah nggak hujan, tapi aku tetep mau pulang bareng kamu." Aku mendengar April menghela nafasnya sebelum melanjutkan. "Aku kira hari ini aku bakal ingkar janji untuk yang pertama kalinya, karena tetep ngotot mau pulang bareng kamu walaupun di luar gak hujan," lanjutnya.

"Tapi akhirnya sekarang hujan juga, 'kan?" Aku tersenyum kecil padanya.

April balas tersenyum. "Iya."

Kami diam setelahnya. Sesekali aku melirik April yang menjulurkan tangannya ke luar, menadah air hujan yang jatuh. Badannya yang mungil tenggelam dalam jaket biru milikku, wajahnya tersenyum bahagia. Menurutku, April selalu lucu dengan tingkah lakunya.

Setelah menimbang-nimbang, akhirnya kupanggil si lucu itu. "Pril."

"Iya, Dhan?" jawabnya, tangannya masih menadahi air hujan.

"Lo tau nggak? Lo bisa aja tetep ingkar janji hari ini."

April menarik tangannya. "Lho? Kenapa?"

"Lo liat, deh." Aku maju mendekatinya, lalu menunjuk langit yang sudah tak segelap tadi. "Hujannya bisa aja berhenti."

"Hm, terus?"

"Lo janji pulang bareng gue kalo hujan, 'kan? Gimana kalo hujannya tiba-tiba berhenti sebelum kita pulang? Itu artinya lo ingkar janji, Pril."

"Eh, iya, ya! Terus gimana, dong? Pulang sekarang, gitu? Tapi masa kita harus hujan-hujanan demi nggak ingkar janji? Mendingan aku ingkar janji aja."

Aku tersenyum. Tanpa ragu, tanganku bergerak menutup tudung kepala pada jaket yang April pakai, lalu kugenggam tangannya. Jelas sekali, April langsung kaget waktu itu.

"Ayo kita pulang, hujan-hujanan itu asik, kok," kataku sambil mengambil kunci motor di saku celana.

Belum sempat April menjawab, aku sudah menariknya berlari keluar pos. Aku menuntunnya menuju motorku di parkiran. Selama berlari itu, tangan kami tak pernah terlepas. Yang aku ingat, tangannya selalu hangat, berbanding terbalik dengan tanganku yang dinginnya macam es.
Genggaman tangannya kian erat seiring jauhnya langkah kami.

Begitu sampai di motorku, aku memakaikannya helm biru yang selalu kusimpan di jok motor. Lalu, aku sendiri memakai helm full faced-ku. Aku naik, kemudian lewat aba-aba, kuminta April untuk naik juga ke jok belakang.

Perlahan, kulajukan motor besarku (yang menurutku nggak besar-besar amat) ke luar sekolah. Jalanan lumayan sepi, sepertinya karena pengendara lain kebanyakan menepi di pinggir jalan untuk berteduh. Atau sepertinya mereka memang sengaja menepi agar hanya ada kami berdua di jalan raya. Bertiga dengan hujan tentunya.

Oh, jangan lupakan motorku.

Ralat, berempat.

Ah, tapi tetap saja serasa dunia milik berdua. Iya 'kan, Pril? Hm?

Aku lupa sudah berapa jauh motorku melaju, tapi ketika itu, tiba-tiba tangan April bergerak memelukku. Walau terhalang tas, tetap saja rasanya hangat. Bahuku sempat menegang, tapi lama-kelamaan sendi-sendiku kembali rileks. Bahkan sangat rileks.

Aku sangat menikmatinya. Saat-saat itu, dengan April, hujan, dan motor ninja dua setengah milikku.

Sejak hari itu aku seratus persen yakin, yang kurasakan padanya bukan hanya sekedar tertarik. Rasanya... aku sudah jatuh.

Aku jatuh padamu, April. Apakah hari itu kamu juga telah jatuh?

***

a.n. Hai! Biasanya update setiap hari Minggu, dan sekarang hari Rabu. Hm...
Maaf baru bisa update, baru sempet soalnya. Hehe. Tapi ceritanya masih berlanjut kok, insyaallah sampe tamat. Amin.

Ikutin terus tulisan Ardhan untuk April, ya!❤

See ya!

A Letter for AprilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang