Body-Talk

17 2 0
                                    

Melihat tubuhmu sendirian terbujur kaku, kedinginan tanpa busana dan dibedah oleh ahli forensik memang bukan pemandangan yang mengenakan. Selain itu, ketika kau sudah menjadi zat hampa udara, kau dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang di sekitarmu. Salah satunya dokter wanita berambut pirang yang menjulur seperti lidah api satu ini.

Aku dapat merasakan rasa khawatirnya, berharap anak semata wayangnya tidak ditemukan seperti diriku; terbujur kaku di pinggiran sungai, membusuk hanya ditemani gagak dan belatung. Dia adalah seorang Ibu keturunan Mormon yang sangat menyayangi anaknya. Aku juga rindu Ibu, pasti dia sedang mencariku bersama Ayah ke setiap sudut wilayah di negara bagian kota Chicago ini, kota paling berangin di Amerika.

Hari itu menjadi paling gelap seumur hidupku. Rinai hujan membasahi kepala hingga sepatuku. Ayah benar, memiliki kekasih adalah hal yang berisiko karena itu dapat membuka luka baru di hatimu. Ibu juga tidak salah, kekasihku bukan pribadi yang baik karena dia hanya manis di mulut saja. Matt Amendola, kekasihku yang juga pemain rugby selingkuh dengan atlet renang yang juga temanku, Elsa Altidore.

Dokter keturunan Mormon itu telah usai membedah tubuhku. Dia sedang menjahit dengan sangat hati-hati, menghormati orang yang telah mati. Sementara dokter yang paling muda pergi keluar, meninggalkan setitik cahaya dari ruangan di seberang sana. Aku merasakan sakit yang dahsyat ketika benang dan jarum mulai menembus kulit tipisku. Pikiran itu mengembalikanku ke suatu masa.

Mobil itu melaju cepat hingga tak sadar bahwa kanvas rem-nya lepas. Aku menghindar lalu melompat dari sisi jalan, menuju jurang di tepian sungai sementara mobil itu terus melaju karena panik. Aku tidak akan menyangka bahwa itu akan menjadi hujan terakhirku. Aku juga tidak akan menyangka, Matt adalah orang pertama dan terakhir yang membuatku merasakan arti cinta hingga patah hati. Aku benar-benar tidak menyangka akan pergi sebelum membanggakan kedua orang tuaku walaupun mereka selalu berceloteh jika mereka bangga memiliki anak sepertiku.

Dokter muda itu kembali dan membawa sebuah kabar. Entah mengapa perasaanku mulai membaik, aku melihat ada tumpukkan cahaya mulai membutakan mataku sementara tiga dokter forensik itu masih berdiskusi tentang satu sebab. Aku tidak tahu apa yang mereka katakan namun, semua itu membuatku semakin tenang karena aku sadar mereka membawa kabar bahwa Ayah dan Ibu telah mengkonfirmasi menemukanku disini. Terima kasih, Tuhan.

365Where stories live. Discover now