Museum yang Terabaikan (Noni Belanda)

Start from the beginning
                                    

"Yaaah ... kena PHP'an deh," keluh Baron yang terduduk lesu di tangga masuk Bus.

"Wisata apaan. Ini mah pasti kita disuruh uji nyali!" gerutu Arthur yang duduk memberengut di atas hamparan tanah.

"Harusnya mulut gue bilang mau tidur aja tadi di Asrama. Gak usah nyeplos pengen ikut wisata segala, kalo ujung-ujungnya cuma dimodusin kayak gini doang!" Ernest misuh-misuh, mengacak rambut klimisnya frustasi yang malah direspon kekehan geli oleh Dylan.

"Udahlah Sob, jangan pada hilang semangat gitu kenapa. Ini tuh salah satu risiko kecil kita aja yang sekarang statusnya jadi murid SHS." Dylan merangkul leher Ernest dengan satu lengannya, berusaha menghibur kekecewaan kawan dekatnya itu dengan mengiming-imingi mungkin saja setelah masuk ke dalam gedung, mereka akan benar-benar diberi kejutan yang menyenangkan oleh pihak Sekolah, seperti diadakannya sebuah pesta penyambutan atau yang lainnya.

Namun, apa yang Dylan katakan untuk menghibur hati para sahabatnya itu juga tak berujung manis. Pasalnya, setelah mengumpulkan seluruh murid SHS yang ikut berwisata, Chester menginformasikan bahwa ini adalah ujian terakhir bagi semua anak didik SHS, sebelum akhirnya mereka dilepas untuk menangani kasus-kasus mistis yang sebenarnya. Dari puluhan murid yang mengikuti pelatihan terakhir tersebut, mereka dibagi menjadi beberapa regu; yang dalam satu regunya di isi oleh sembilan orang. Dan sembilan murid dari SHS tersebut akan ditugaskan untuk mencari satu bendera merah putih yang tersembunyi di salah satu ruangan dalam bangunan warisan Belanda yang luasnya mencapai 2,5 hektar tersebut. Dan tiap regunya, akan diberi waktu untuk menjelajahi gedung tersebut selama dua jam.

Berbekal tiga senter dalam satu grupnya, Dylan CS, Helga, Aiden, Rucita, Raga dan Hira yang kebetulan bergabung menjadi satu tim itu mulai memasuki gedung yang kini telah dipugar menjadi sebuah Museum sejarah tersebut. Pertama kali mereka bersembilan menapakkan kaki di lobi utama, udara dingin langsung menyapa kulit para murid spesial SHS yang ditutupi pakaian hangat tebal tersebut. Tak adanya pencahayaan yang memadai untuk mereka mengetahui seluk beluk tempat itu secara luas, membuat Aiden, Raga dan Rucita yang bertugas membawa senter langsung mengarahkan alat penerangan minim itu ke segala penjuru arah, cemas akan penampakan pertama macam apa yang harus mereka hadapi di dalam gedung tua bekas pusat perkeretaapian Belanda di Indonesia tersebut, sembari bergandengan tangan.

Batu marmer yang menjadi lantai dalam lobi tersebut mungkin adalah salah satu jawaban kenapa udara di dalam bangunan terasa begitu mencekam, ditambah lagi gaya arsitektur khas Eropa yang terlihat kental sekali dalam ruangan. Berjejernya kayu-kayu jati raksasa berusia ratusan tahun yang membuat bangunan ini menjadi kokoh, menciptakan delusi mewah bagi Dylan CS yang kini bak berada di dalam sebuah kastil luar negeri yang sudah lama kosong. Suara decit sepatu Ernest yang enggan melepaskan ujung sweater Dylan, menjadi penyemarak di tengah sunyinya ruangan luas yang mereka jejaki.

"Ini, efek abis dipugar apa karena emang belum nongol aja ya? Kok yang begituan belum kita liat sejak kali pertama lewatin pintu masuk? Padahal menurut sebagian besar artikel tentang Lawang Sewu yang sempet gue baca, sejak di halaman depan ... harusnya kita udah disambut penampakan tangan raksasa gitu. Terlebih lagi, mata batin kita 'kan udah pada dibuka, ya toh?" seloroh Arthur yang disambut lirikan tajam dari Baron yang melangkah beriringan di sampingnya.

"Lo, jangan sok berani deh, Ar! Lo belon pernah di smack down sama gue sih ya? Gue biasanya kalo panik suka smack down-in orang," timpal Baron memamerkan wajah sangar khas premannya.

Alih-alih takut akan gertakan sang junior yang memiliki tubuh bongsor itu, Raga yang mendengar ocehan Baron justru meremehkan ucapannya. "Halah! Smack down-in orang udah gak zaman kali. Kalo lo beneran pernah jadi preman sekolah yang punya nyali gede, coba nanti kalo ada hantu pertama nongol, lo smack dah tuh hantunya. Berani gak?" tantang Raga. Dan tepat setelah pemuda jangkung itu menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba saja suara dentang jam yang begitu nyaring, terdengar menulikan telinga.

Supranatural High School [ End ]Where stories live. Discover now