Poka ke rumah mengambil peralatan gambarnya," jawab Pika, "Jadi, siapa Paman Wally?"

"Paman Wally adalah suami Bibi."

"Suami?"

"Maksudnya, Paman Wally hidup bersama Bibi."

"Seperti Pika dan Poka?"

"Iya, seperti Pika dan Poka."

"Ah, Poka!" seru Pika tiba-tiba.

Aku menoleh, setengah terkejut melihat Poka sudah berdiri di belakangku. Dengan papan kayu, kertas putih dan sebuah pensil di tangannya.

"Poka adalah suami Pika," ujar Pika tersenyum senang.

"Suami?" tanya Poka tidak mengerti.

"Suami hidup bersama. Seperti Bibi dan Paman Wally," balas Pika.

Poka memandangku, tampak sedikit kebingungan dengan penjelasan Pika. Dia pun mulai duduk dan menggambar.

"Apa yang Poka gambar?" tanyaku mendekati Poka.

"Jangan bergerak! Poka sedang menggambar Bibi," seru Poka serius.

Aku duduk diam memperhatikan Poka. Beberapa kali dia memandangku, mengukur proporsi tubuhku. Poka sangat serius menggambar. Hampir setiap detik aku melihatnya menggosok penghapus kecil. Pika berjalan kesana kemari, tampak bosan menungguku dan Poka.

"Bibi, Poka, ayo kita bermain," ujar Pika merengek.

"Poka masih menggambar," jawab Poka sebal.

"Lupakan saja gambar itu. Poka tidak pandai menggambar," ujar Pika mengejek.

"Poka bisa menggambar. Lihat saja, wajah Bibi akan jadi sangat cantik."

Poka mulai menggerakkan genggamannya dengan sangat cepat. Dia menggenggam pensil seperti menggenggam tongkat, tangannya melingkar-lingkar, melompat kesana kemari, membuatku curiga akan apa yang sedang digambarnya.

"SELESAI!" seru poka senang sembari menunjukan kertas dengan coretan tak beraturan, coretan anak kecil yang membentuk gambar spiral, angin tornado, atau benang yang berantakan, "Cantik kan, Bibi?"

Aku tersenyum, "Ya, cantik sekali."

Namun wajah Poka kembali cemberut, "Bibi juga berpikir kalau Poka tidak pandai menggambar kan?"

"Tidak, menurut bibi Poka pandai menggambar."

Tetes air mencubit kertas gambar di tangan Poka. Menggelitik kepalaku. Membuat kami semua mendongak ke atas. Langit yang cerah telah menjadi mendung, gerimis hujan semakin menjadi.

"Cepat Bibi, kita harus berlindung di dalam rumah!" ujar Pika panik.

Pika dan Poka berlari ke arah pepohonan. Pepohonan yang semakin lebat, hingga layak untuk disebut hutan. Aku berlari, mengikuti, atau lebih tepatnya berusaha mengejar mereka. Kaki kecil itu melangkah dengan cepat. Membuat wanita yang sudah lewat masa muda ini terengah-engah.

Kami tiba di rumah pohon. Bukan pohon berlubang layaknya rumah tupai. Melainkan rumah kayu kecil yang berdiri di tengah dahan.

Aku memanjat pada tangga yang bersandar, tangga yang menjulur ke atas, satu-satunya jalan masuk ke dalam rumah pohon.

Mainan anak-anak berserakan dimana-mana. Berbagai coretan mewarnai dinding kayu. Jelas sekali tidak ada orang dewasa yang menata isi rumah ini.

Poka mengambil selotip dari tumpukan mainan yang berserakan, menempelkan gambar barunya di dinding. Pika membawa beberapa mainan. Mobil-mobilan, robot, dan miniatur pesawat terbang.

[Tantangan White Day NGKWI 2017] Pika en PokaWhere stories live. Discover now