Bab 17 Rindu yang Mencemburu

38.6K 5.2K 395
                                    


Jeya mengetuk-ngetukkan telunjuk pada meja, mengabsen sekeliling. Masih sama seperti sepuluh menit tadi, belum ada tanda-tanda kedatangan Faridh. Sekawanan mendung berarak dari langit utara, terlihat dari balik kaca transparan yang menyekat dirinya dengan lingkungan luar. Hujan sebentar lagi turun, prediksinya sambil lalu. Mengatasi rasa jemu, Jeya mengulurkan tangan pada gelas jus, meneguknya kemudian mendesahkan napas panjang. Sesuai janji, Faridh seharusnya datang 40 menit yang lalu. Tadi, dia sudah mencoba menelpon, tapi panggilannya hanya diangkat operator. Dicek akun-akun media sosial Faridh, tidak ada tanda-tanda online. Selain menunggu, Jeya tak punya pilihan lain, kecuali pergi jika sudah bosan.

Ah, apalah arti 40 menit jika dibandingkan penjelasan Faridh? Jeya mau memanggil pelayan untuk memesan minuman lagi ketika seorang gadis berambut lurus sebahu menghampirnya.

"Jeya, hai, akhirnya kita bertemu lagi." Virda tersenyum lebar, duduk di depannya tanpa disuruh.

"Oh, ha-hai!" balas Jeya rikuh.

Okelah, Faridh tidak datang, tapi bukan Virda juga yang menemuinya. Berbicara dengan anak perempuan dari orang yang mencelakakannya serasa mengobrol dengan tersangka utama. Jeya tidak menurunkan kewaspadaan. Bisa saja, tiba-tiba Kania muncul, merencanakan segudang niat buruk padanya.

Ughhh, hati-hati, bukan paranoid, desahnya gamang.

"Dengan siapa?" Virda kembali bertanya.

"Sendiri. Kamu?"

Virda menyelipkan rambut ke belakang telinga, "aku dan Hammuka berjanji untuk bertemu di sini. Dia mengajakku makan siang bersama."

"Oh." Selain oh, Jeya tidak punya kosakata lain.

"Boleh aku tahu hubunganmu dengan Hammuka? Maksudku, benar kalian tidak pacaran? Jujur..., kalau berkencan dengannya, yang kuingat dirimu. Aku tidak mau menyakiti seseorang atas hubunganku ini." Virda lagi-lagi berhasil membuat Jeya rikuh.

"Tidak." Jeya menyahut kecil. Hammuka sudah mengakhiri hubungan mereka. Dengan siapapun dia berpacaran, bukan urusan Jeya lagi. "Tidak ada yang tersakiti."

YANG ADA HANYA SEORANG GADIS YANG DIKECEWAKAN, setan di kepalanya berteriak keras.

"Syukurlah!" desah Virda lega.

Jeya menaikkan alis sebelah, kemudian berdoa, semoga Virda segera enyah dari hadapannya.

"Oh ya, Je, apa kamu menunggu seseorang?" Virda masih menanyainya. Membuat telinga Jeya keriting seketika.

Daripada menjawab dengan suara jutek, Jeya memilih untuk mengangguk.

"Kamu berkencan?"

Tidak cukupkah pasien saja yang diinterogasi sedetail ini? Hati Jeya memberontak. "Virda, bisakah kamu-"

"Hai, Virda!" suara bass itu menginterupsinya.

Hammuka berdiri tidak jauh dari posisinya. Tapi, mata itu tidak sedang menatap Jeya. Pria itu memfokuskan diri pada gadis cantik dalam balutan dres floral berwarna pink lembut. Siapapun pasti akan lebih memilih menatap Virda ketimbang dirinya. Ini bukan rendah diri, hanya menyadari keadaan. Meski tidak semua laki-laki menomersatukan kecantikan, tapi siapa yang bisa menolak mengagumi keindahan?

Jeya memejamkan mata, berusaha mengendurkan sarafnya yang menegang. Kalau Hammuka tidak berniat menyapa, dia juga tidak akan merendahkan harga diri dengan memulai mengatakan "halo"; "apa kabar" atau rentetan basa-basi lain yang benar-benar basi. Jika Hammuka bisa hidup tanpanya, dia juga harus bisa hidup dengan baik. Tangan Jeya terkepal kuat-kuat. Emosi yang diredam mati-matian, perlahan menanjak.

"Sudah menunggu lama?" Suara Hammuka kembali mengisi pendengaran Jeya. "Maaf, aku telat."

Sekarang adalah waktu yang tepat untuk menyadari bahwa hubungan mereka memang sudah tidak bersisa. Jeya melirik langit, awan gelap makin menutup langit siang ini. Seperti hatinya, gelap dan dingin. Titik-titik gerimis mulai muncul dan Jeya berharap, semoga gerimis dari matanya tidak pernah menampakkan wujud. Hammuka pasti pongah kalau mengetahui kelemahannya.

Kasyaf (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang