Bab 15 Melamar

40.5K 5K 371
                                    

"Ada yang bisa kami bantu?" Tenaga kesehatan yang ada meja informasi menyapa Jeya dan Hammuka. Rambutnya dicepol ke atas, rapi. Sesungging senyum nampak, menyuguhkan keramahan yang sangat formal.

"Kami ingin tahu di mana pasien bernama Cici dari pesantren Al-Hikam. Kudengar, dia operasi usus buntu." Jeya menyahut tak kalah bersahabat, tak lebih dari basa-basi.

"Sebentar, saya cari datanya dulu, ya," lalu wanita itu sibuk dengan komputernya. "Pasien ada di ruang Mawar no. 37. Ada di lantai tiga, koridor selatan, dekat tangga turun."

Merasa sudah tidak ada keperluan lagi, Jeya mengucapkan terima kasih kemudian pamit. Hammuka langsung mengekorinya dan tidak tahu bahwa gadis yang berjaga di ruang informasi itu mengamatinya dengan penuh minat.

"Nanti kamu jaga jarak agar aku bisa memastikan dugaan kita." Jeya menyejajari Hammuka, menaiki tangga dengan ritme langkah sedang.

"Jika kamu dalam bahaya, bagaimana?"

"Kamu mengkhawatirkanku?" Jeya melirik sambil tersenyum.

Saat Hammuka menatapnya, dia menaikkan alis sebelah kanan.

"Tidak." Salah, lanjutnya dalam hati.

Jeya berhenti, "kalau aku dalam bahaya, aku yakin, kamu akan datang tepat waktu."

Hammuka menghela napas kemudian melanjutkan lagi langkahnya. Mengapa ada orang yang mempercayainya sebesar ini? Apakah dirinya memang pantas mendapatkan kepercayaan itu? Dipejamkan matanya, menikmati setiap sensasi berdekatan dengan Jeya, mengetahui apa yang dpikirkan gadis itu. Kemudian, ketakutan menjalari aliran darahnya, lalu berkumpul di jantung, mengirim denyut nyeri bukan main. Dia benar-benar tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika tidak bisa menjadi seperti yang diharapkan Jeya.

"Hammuka, aku ingin kamu mengerti." Jeya memandangi bahu Hammuka, menunduk kemudian melanjutkan ucapannya, "jika suatu hari nanti, aku mati, kematian itu sebenarnya hanya dinding semu milik waktu. Kamu tidak perlu bersedih jika aku dalam bahaya dan kamu tidak bisa menyelamatkanku. Atau begini, menangislah sewajarnya. Manusia selalu bersedih kalau dihadapkan pada perpisahan, tapi sebagian besar di antara mereka, jarang menghargai pertemuan. Jadi, selagi kita bersama-"

"Apa yang sedang kamu bicarakan?" potong Hammuka, tidak suka. Dia menghadap Jeya. Ekspresinya keras dan tidak hangat sebagaimana sebelumnya.

Jeya melanjutkan lagi langkahnya, meninggalkan Hammuka yang tertinggal tiga anak tangga.

"Kalau begitu, agar mudah bagiku menunjukkan perasaan, dan juga menghargai kebersamaan ini, bagaimana kalau kita segera menikah?" Pria itu bertanya sungguh-sungguh, tidak berniat menggoda seperti biasa.

Sejak ajakannya dicetuskan sepuluh detik lalu, Jeya mematung di tempatnya, tanpa sudi membalik tubuh. Kali ini, Hammuka memilih untuk bersikap agresif. Jika gadis itu tidak mau meraihnya, maka dia-lah yang harus mencapai Jeya. Buang jauh-jauh gengsi. Di depan cinta, harga diri hanya sekelumit rawon basi yang dikerubungi lalat hijau di pagi hari.

"Menikahlah denganku," ulangnya setelah berhadapan. Suaranya sangat maskulin, menyihir kaki-kaki Jeya serupa Jeli. Gadis itu menggigit bibir, suasana canggung ini, ajakan Hammuka yang sederhana, ralat, yang membuat jantungnya bekerja keras. Ughh, apakah salah seandainya dia berharap punya kemampuan berpindah tepat dalam satu kedipan mata?

Pada akhirnya, Jeya tidak bisa menghindar. Hammuka butuh jawabannya.

"Seperti perjanjian kita, Ham. Tapi, kamu harus minta maaf dulu pada ayahku, lamar aku padanya," tawar Jeya dengan kesepakatan baru. Dia menggerakkan leher yang kaku. Ternyata, ajakan menikah pria yang dicintai, bisa mengakibatkan penumpukan asam laktat. Sendi putarnya terasa kebas saat digerakkan.

Kasyaf (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang