[18] Kau PMS, Ya?

3.7K 160 6
                                    

Bi Tumi mengetuk pintu kamar. Fajrin mempersilahkannya masuk.

"Den, waktunya makan. Anda harus minum obat,"

"Sini bi, biar Fajrin yang kasih makan Irza," Fajrin mengambil nampan dati tangan Bi Tumi.

"Baiklah, Den Faj. Aden mau bibi ambilin makan juga?"

"Ah, enggak usah bisa, bi. Nanti Fajrin ke bawah aja," jawab Fajrin dengan senyuman khasnya. Bi Tumi kagum terhadap Fajrin yang sangat sayang dan penuh perhatian kepada 'sahabatnya' itu.

"Baik, den. Bibi ke bawah lagi ya."

"Iya, bi."

Bi Tumi meninggalkan kamar.

"Genit kamu sama Bi Tumi," Irza tiba-tiba menimpali.

"Cemburu?" Fajrin menyeringai nakal.

"Dih? Buat apa aku cemburu sama ibu-ibu?" Wajah Irza memerah.

"Bilang saja kau cemburu," Fajrin terkikik. Namun, Irza hanya memalingkan wajahnya?

Fajrin mengaduk bubur ayam sampai merata. Lalu menyuapkannya pada Irza. Namun Irza menolaknya.

"Tidak. Aku tidak lapar," Irza menjauhkan wajahnya.

"Kau harus minum obat. Makanlah dulu."

"Sudah ku bilang, aku tidak lapar!"

Fajrin merasa bahwa kekasihnya sangat keras kepala. Namun, Fajrin harus tetap bersikap sabar. Irza sedang sakit. Aku harus tetap tenang.

Fajrin tersenyum manis pada Irza. Ia sangat peduli pada dengannya. Fajrin memaksa masuk sendok berisi bubur iti. Irza membuka mulut walau ekspresinya malas. Melihat Irza yang seperti anak kecil itu, ia terlihat sangat manis di mata Fajrin.

"Anak baik."

Fajrin mengambil sesendok bubur lagi. Ia meniupnya, dan memasukkan setengah bubur itu ke dalam mulutnya dan setengah lagi pada Irza. Irza tidak bisa melarang perbuatan Fajrin. Jika ia melarangnya pun, Fajrin pasti akan tetap melakukannya.

Mangkuk yang tadinya berisi bubur, sekarang hanya menyisakan sedikit darinya.

Fajrin membuka obat dan memberikannya pada Irza. Sekarang, yang harus dilakukan Irza adalah tidur.

Waktu menunjukan pukul delapan. Irza sudah mengantuk karena efek dari obat. Namun sebaliknya, Fajrin tidak merasa kantuk. Fajrin membalut tubuh Irza dengan selimut, dan memeluknya dengan erat. Rasa rindunya pada Irza seakan tak pernah hilang walau ia sudah memeluknya.

"Za, aku belum memberi tahumu ya?"

"Memberi tahu apa?"

"Aku juara pertama olimpiade."

"Oh, aku kira apa," jawab Irza datar.

"Kau tidak mau mengucapkan selamat padaku?" Fajrin menggoda.

"Sebelum kau pergi pun, aku sudah memberimu ucapan selamat. Dalam hati, hehe. Aku sudah yakin, kau pasti akan juara," Irza menjulurkan lidahnya.

Tiba-tiba Fajrin menempelkan bibirnya pada mulut Irza. Fajrin naik ke tubuh Irza dengan cepat tanpa melepaskan ciumannya. Fajrin memainkan bibirnya. Sangat intens.

Irza mengerang dengan pelan. Napasnya tidak teratur. Fajrin sadar betul bahwa Irza sedang sakit. Karena nafsu, Fajrin tidak bisa menahan dirinya lagi.

Irza juga memainkan bibirnya. Lidah Fajrin perlahan masuk kedalam mulut Irza. Erangan yang dibuat Irza semakin keras. Fajrin melihat wajah tampan yang penuh gairah itu.

Blind Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang