Letisha

246 23 0
                                    

15 Oktober 2018

Pukul 19.35

"Kemana?" tanya laki-laki itu lewat sambungan telepon.

"Ke toilet. Kamu mau saya angkat teleponmu di depan dia? Lagipula kenapa pakai telepon-telepon segala, sih?" Dengan suara setengah berbisik, aku menghardiknya. Aku kesal lantaran ia tak ada habisnya menelponku setiap lima menit. Aku sampai harus repot-repot mengungsi ke kamar kecil untuk bisa mengangkat telepon darinya.

"Tenang. Aku cuma ingin memastikan kamu tidak lupa dengan tugasmu."

"Jangan khawatir. Saya bukan orang yang pelupa."

"Itu katamu. Tapi aku tetap perlu memastikan."

"Kamu ini bodoh atau apa? Bagaimana kalau Rama sampai tahu semuanya?"

"Jaga bicaramu!" Nada bicara laki-laki di sambungan telepon tiba-tiba meninggi. "Aku diberikan mandat langsung untuk mengontrol kerjaanmu. Jadi, boleh dibilang aku ini atasanmu sekarang. Aku tidak akan segan memotong nominal uang perjanjian yang sudah kita sepakati. Mengerti?"

Sejenak aku tertegun. Ancaman yang dilontarkan laki-laki itu ternyata sanggup membungkam mulutku. Saat ini aku tak ingin merusak rencana operasi ginjal Tara, adik perempuanku yang dijadwalkan akan berlangsung dalam minggu-minggu ini. Sebelumnya aku sempat didera frustrasi. Kondisi Tara justru semakin memburuk usai menjalani serangkaian terapi cuci darah.

Sementara, belakangan ini aku sangat kesulitan mendapatkan klien lantaran media tengah gencar-gencarnya mengulas tentang bisnis prostitusi kalangan atas. Bang Edo yang biasanya rutin menawariku pekerjaan sampingan, kini tak lagi leluasa beroperasi. Akhir-akhir ini pun ia jadi makin sulit ditemui. Kabarnya, nama pria yang juga punya bisnis restoran dan bar itu masuk DPO Polisi. Sebagai salah seorang yang ikut bernaung di bawah usaha miliknya, aku pun tak bisa berbuat apa-apa.

Di saat-saat putus asa itu, akhirnya orang ini datang membawa solusi untuk mengakhiri kesulitanku. Seperti laki-laki kebanyakan, ia juga datang menawarkan sejumlah uang. Bedanya, aku tak harus melayaninya di kamar hotel. Tetapi cuma mengajak seseorang makan malam.

"Maaf. Tadi saya lepas kontrol. Sekarang bagaimana?"

"Kamu masih ingat dengan tugas kamu, kan?"

"Ya. Semuanya," jawabku, datar. Sejujurnya aku hanya enggan berbicara macam-macam lagi. Laki-laki yang menjadi lawan bicaraku ini rupanya terlalu sensitif. Keseleo lidah sedikit saja, reaksinya bisa sedemikian keras.

"Walaupun instruksinya cukup simpel, saya hanya coba mengingatkan kamu sekali lagi. Tanyakan padanya tentang masa lalunya, rutinitasnya, juga rencana hidupnya ke depan. Mengerti?"

Instruksi yang berulang kali diucapkannya itu membuatku terlihat seperti orang bodoh. Dia pikir aku anak SD yang perlu diingatkan akan tugas-tugas sesederhana itu. "Bung, saya sudah sangat mengerti sejak kali pertama kamu menginstruksikan itu pada saya."

"Saya ingatkan sekali lagi. Jaga bicaramu!" Kalimat terakhir itu diucapkannya dengan nada yang melonjak tinggi. "Kamu cuma pesuruh di sini, bukan siapa-siapa. Jangan berlagak sok pintar. Kamu masih butuh uang itu, kan?"

"Iya," bisikku, pelan. "Saya membutuhkannya."

"Oh, ya. Satu lagi. Tanyakan juga padanya apa ada hal-hal aneh yang dirasakannya akhir-akhir ini. Mengerti?"

"Baik."

"Saya butuh kamu seperti kamu butuh uang itu. Biaya perawatan adik kamu itu tak bisa ditunggak lagi, kan?"

Seketika dahiku mengernyit. "Darimana kamu tahu?"

"Kamu tidak tahu sedang berurusan dengan siapa? Bukan perkara sulit bagi saya dan orang-orang di belakang saya untuk mengetahui segala hal tentang kamu. Tentang asal-usulmu, kehidupanmu, termasuk juga alamat rumah yang kamu tinggali berdua dengan adikmu."

Keringat dingin perlahan mulai mengalir membasahi pelipisku. "Jangan dekati adik saya. Dia tidak tahu apa-apa."

"Baguslah kalau kamu sudah sadar dengan apa yang bisa kami lakukan. Saya cuma mengingatkan. Kalau kerjamu malam ini bisa memuaskan kami, saya bisa menjamin keselamatanmu dan adikmu. Bahkan, atasan saya bersedia menjanjikan kehidupan baru yang lebih layak untuk kalian di luar negeri. Kamu belum pernah tinggal di luar negeri, kan?"

"Kamu nggak perlu berjanji muluk-muluk. Uang itu sudah cukup buat saya."

"Persoalan ini tidak sesederhana yang kamu pikirkan. Kamu sudah memutuskan untuk terlibat dalam permasalahan ini. Kalau kamu masih ingin hidup dengan tenang, kamu harus terima kompensasi itu. Kamu tidak tahu apa yang akan kamu hadapi ke depannya nanti."

"Saya tidak mengerti apa yang kamu bicarakan."

"Kamu tidak perlu mengerti. Cukup lakukan saja tugasmu, lalu segeralah enyah dari negara ini. Mengerti?"

"Baiklah..."

"Tapi, ingat! Apabila kamu mengecewakan saya, maka kamu juga akan mengecewakan orang-orang di belakang saya. Dan apabila kamu mengecewakan mereka, maka bukan honor kamu saja yang melayang. Nyawa kamu dan adikmu juga. Paham?"

"Ya. Saya mengerti, Bung Topan."

LEGIUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang