Rama Lazuardi

279 31 1
                                    

15 Oktober 2018

Pukul 07.23

Pak Markus tidak bisa menyembunyikan ekspresinya yang antusias saat membaca draf mentah hasil investigasi Awan yang baru selesai kususun ulang di sebuah buku album berukuran besar. Mata pria itu terlihat sangat bersemangat. Jari-jarinya tidak mau berhenti membolak-balik setiap halaman buku album yang baru beberapa menit lalu berada di tangannya. Namun, sesaat kemudian, mulutnya berdecak. Kepalanya menggeleng berkali-kali.

"Kenapa, Pak? Ada kalimat saya yang salah penulisan?" tanyaku, penasaran dengan perubahan ekspresinya.

"Mmmm... Begini, Mas. Apa Mas Rama sudah memastikan bahwa data-data yang ada di sini semuanya valid?"

Aku tersenyum mendengar pertanyaan Pak Markus. "Pak, saya sudah meluangkan waktu sekitar lima hari untuk memastikan data-data ini benar. Saya juga sudah kroscek ke beberapa narasumber terkait. Beberapa data yang ada di dalamnya sudah bisa dipertanggungjawabkan. Ya, memang ada beberapa keterangan yang masih harus dicek ulang kebenarannya. Tapi, orang-orang kayak kita tahu lah bagaimana mengakalinya. Pak Markus juga wartawan. Pasti paham maksud saya."

"Maaf, Mas. Bukannya saya lancang. Saya cuma mau mengingatkan. Sebagai wartawan, kita kan harus tetap memegang teguh objektifitas. Menyelidiki itu sah-sah saja, tapi jangan sampai melibatkan spekulasi yang membuat opini publik berkembang liar."

Mendengar tanggapan yang tidak terlalu mengenakkan itu, keningku mengerucut. "Maaf, Pak. Bukan bermaksud apa-apa ya. Kalau Bapak bicara soal spekulasi, bukannya itu yang biasa dilakukan oleh wartawan-wartawan infotainment?"

Wajah Pak Markus mendadak berubah. "Ya, memang," ucapnya, mengakui. "Tapi walaupun saya lama berkecimpung di majalah infotainment, itu bukan berarti saya setuju dengan metode yang mereka terapkan."

Wajah rekan baruku yang usianya tidak muda lagi itu tampak agak tersinggung. Sebenarnya aku menunggu upaya pembelaan lebih lanjut darinya, tetapi dia justru tidak berkata apa-apa lagi. Pandangannya terasing ke sudut ruangan kantor Metropolis yang mulai ramai lalu-lalang karyawan.

Saat dia kembali melirikku dan mendapatiku tengah memperhatikannya, dia buru-buru membuang pandangan. Kali ini dia berpaling pada kaca jendela yang kebetulan memang terletak di dekat meja kerjanya. Kebetulan pula, kaca jendela itu masih tertutup rapat. Untuk mengurangi perilaku salah tingkahnya, dia segera bangkit dari duduknya dan menggeser kaca itu untuk meloloskan sinar matahari.

Pak Markus jelas-jelas tersinggung dengan ucapanku. Meskipun pendapatku tentang wartawan infotainment barusan itu diamininya, raut mukanya tetap tidak bisa berbohong. Lambat laun, aku merasa tidak enak hati juga. Bagaimanapun, aku belum genap sebulan mengenal pria 40 tahun itu. Dan, yang lebih penting lagi, dia lebih tua dariku. Tidak semestinya aku mengeluarkan kata-kata yang menyinggung perasaannya.

"Oh ya, Pak. Ngomong-ngomong, sebagai mantan wartawan infotainment, Bapak pasti tahu banyak soal skandal di lingkungan artis, kan?" Aku berusaha mencari-cari bahan pembicaraan lain untuk mencairkan suasana.

"Kenapa memangnya, Mas?"

"Saya butuh beberapa narasumber lagi untuk ditanyai soal bisnis prostitusi di kalangan artis, Pak. Pak Markus punya kenalan yang bisa kasih info valid soal bisnis ini?"

Pak Markus menggaruk jidatnya yang sudah agak meluas. "Ada beberapa sih, Mas. Saya kenal beberapa pegawai klub malam yang sering dikunjungi artis-artis. Dulu mereka juga yang kasih info ke media infotainment tentang aktivitas prostitusi di kalangan artis. Memangnya kenapa, Mas?"

"Ini soal Erwin Hartanto, salah seorang korban pembunuhan yang namanya juga tercantum di dalam data saya. Menurut informasi dari kepolisian, pada malam hari sebelum dia tewas, dia sempat menghubungi agen jasa prostitusi lewat sambungan telepon. Untuk kelengkapan data, saya perlu cari info soal agen prostitusi tersebut."

LEGIUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang