Edi Harsono

265 34 0
                                    

1 Oktober 2007

Pukul 15.20

"Anda meragukan kemampuan saya?" Tiba-tiba, suara dokter bule itu menyentak keheningan lamunanku. Sepertinya ia cukup teliti membaca aura pesimis yang terbersit melalui air mukaku.

"Tidak. Saya hanya..." Aku menghentikan ucapanku sejenak seraya memikirkan pilihan kata yang tepat. "Saya cuma penasaran. Apa peran yang bisa dimainkan oleh seorang hipnoterapis dalam tubuh intelijen?"

"Berarti benar dugaan saya. Anda memang meragukan saya."

"Bukankah ada perbedaan yang sangat jelas antara ragu dengan penasaran?" ujarku, ringan sembari mencoba memperlihatkan keteguhan.

"Ya, mungkin." Nada ketus yang kugunakan agaknya tak cukup sakti untuk membuatnya bergeming. "Tapi kalau Anda benar-benar belum mempercayai sebesar apa sumbangan yang mampu diberikan ilmu hipnoterapi terhadap dunia intelijen, itu berarti Anda masih belum layak menduduki jabatan Anda yang sekarang."

Mendengar ucapan serampangan yang keluar dari mulut dokter bule itu, kedua ajudanku sempat gusar dan terpancing emosi. Serentak dan tanpa komando, keduanya langsung merogoh senjata api yang tersembunyi di balik saku jas masing-masing.

"Sshhh!" Sebelum moncong-moncong pistol itu benar-benar keluar dari persembunyian, aku buru-buru mengibaskan tangan kananku sebagai isyarat untuk menghentikan gerakan reaktif kedua ajudanku. "Pembicaraan kita semakin menarik saja. Kalau begitu silahkan Anda ceritakan pengalaman yang Anda miliki selama bekerja di wilayah intelijen, Dokter. Suka atau tidak suka, saat ini status Anda tak lebih dari sekedar peserta wawancara kerja."

"Saya tidak akan menampik asumsi tersebut. Tapi, bukankah seorang peserta wawancara berhak mengutarakan besaran ekspektasi gaji kepada pewawancara?"

"Tunggu sebentar. Jadi, pihak kami juga harus menanggung gaji Anda apabila kerjasama ini terlaksana?"

"Ah, tidak, Jenderal. Saya hanya bergurau. Saya tahu posisi saya yang sebenarnya. Saya tak lebih dari sekedar bidak pion. Sementara, kalian adalah para panglimanya."

"Oh, syukurlah kalau Anda mengerti. Tentu Anda juga tahu konsekuensi apa yang akan ditanggung seorang prajurit apabila ia menentang perintah panglimanya?"

"Anda jangan salah paham, Jenderal. Jangan buru-buru menilai saya dari kesan pertama. Saya jamin saya orang yang profesional."

Penasaran, aku langsung berusaha menganalisa kepribadian dokter yang satu ini dengan pendekatan deduktif. Apakah dia orang yang bisa dipercaya? Atau dia hanya sekedar bermulut besar? Percakapan panjang yang sarat akan muatan sinisme itu terhenti sejenak. Mendadak dokter berkewarganegaraan asing itu terkekeh. Dan, secara ajaib, seberkas senyum di bibirnya justru mampu menyihir suasana menjadi lebih cair. Ajaibnya, aku pun membalas senyuman kecil itu dengan tawa ringan.

"Baiklah. Saya mengerti. Saya tidak akan lagi meragukan kapasitas dan pengalaman Anda. Lantas, apa yang bisa Anda tawarkan untuk negara kami?"

"Baik, Jenderal. Sebelumnya saya akan memberikan sedikit gambaran pada Anda tentang tugas orang-orang seperti saya di kancah intelijen." Aku mulai merapatkan posisi dudukku ke depan. "Sebagaimana yang Anda tahu, badan intelijen negara-negara besar seperti Amerika dan Inggris saat ini telah memiliki jaringan yang mahaluas di berbagai negara. Tidak diragukan lagi, negara-negara adikuasa seperti mereka pasti memiliki banyak rival."

"Ya. Saya dengar otoritas badan-badan intelijen bentukan negara-negara superpower tersebut tidak terbatas di sektor keamanan, tetapi juga perekonomian dan perdagangan."

"Anda tidak salah, Jenderal. Tetapi bukan itu yang ingin saya bahas saat ini."

"Lantas?"

Pria asing itu tersenyum sejenak. "Sebagai seorang pimpinan intelijen, Anda pasti sudah pernah mendengar istilah agen rahasia yang biasa disebut Sleeper, bukan?" Aku mengangguk. "Anda pasti juga tahu bahwa CIA telah mempekerjakan banyak Sleeper untuk menyusup ke dalam tubuh KGB di Rusia. Dan begitu pula sebaliknya."

"Dengan segala hormat, Dokter. Apakah Anda sedang berusaha menguliahi seorang pimpinan badan intelijen tentang seluk beluk intelijen?" Darahku mulai mendidih mendengar penjelasan Dr. Edward yang bertele-tele itu.

"Dan, dengan segala hormat, Jenderal. Untuk menjadi seorang pimpinan besar sebuah badan intelijen, dibutuhkan tingkat kesabaran yang sangat tinggi." Aku menghela napas. Orang ini rupanya piawai sekali bermain kata-kata. "Boleh saya lanjutkan?"

Aku mengangkat telapak tanganku untuk mengisyaratkan persetujuan.

"Seperti yang kita sama-sama tahu, seorang Sleeper akan diam menetap di negara musuh dengan identitas lain. Dia akan hidup membaur dengan masyarakat sekitar sebagaimana manusia normal sambil sesekali mencari akses untuk mengumpulkan informasi tertentu tentang kebijakan badan intelijen negara musuh. Sampai di sini apakah ada penjelasan saya yang kurang tepat, Jenderal?"

"Lanjutkan saja. Saya akan langsung koreksi apabila ada yang salah."

Dr. Edward mendengus sinis sebelum melanjutkan penjelasannya yang sekilas terdengar hanya berputar-putar itu. "Nah, Jenderal. Menurut Anda, apakah seorang manusia memiliki kemampuan untuk memerankan dua identitas sekaligus dalam jangka waktu yang sangat lama?"

"Maksud Anda?"

"Masih tentang Sleeper. Seorang Sleeper yang tinggal di negara musuh harus mampu menghindari kecurigaan pihak musuh, bukan? Dan diperlukan waktu bertahun-tahun untuk membuat catatan hidup yang baik agar dia mendapatkan kepercayaan semacam itu. Dia butuh identitas lain, selain identitas aslinya sebagai seorang mata-mata. Permasalahannya, apakah dia mampu menjalani hidup selama bertahun-tahun dengan dua identitas yang berbeda itu?"

Tiba-tiba suasana senyap. Penjelasan Dr. Edward tak lagi terdengar selama beberapa detik. Sementara aku terus berusaha mencerna penjelasannya sekaligus memprediksi apa hal selanjutnya yang akan diungkapkannya.

"Jenderal Edi Harsono, tugas kami sebagai ahli hipnoterapi adalah memastikan seorang Sleeper menguasai kedua identitas itu secara bersamaan."

"Dengan kata lain?"

"Kami lah yang menjamin keberadaan identitas lain di dalam kepala mereka. Kami pula lah yang bertugas mengendalikan kemunculan identitas lain tersebut."

*****

LEGIUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang