PAUL

6 0 0
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Lembur lagi, pak?"

"Ya sepertinya begitu. Aku duluan ya," jawabku.

Aku akan bernyanyi lagu yang sama dengan yang kemarin untukmu Chocolate, "Love is all that I can give to you ....". Itulah yang akan kukatakan hari ini. Aku berjalan menyusuri sepanjang lorong Santa Nadie yang sudah tidak begitu ramai murid-murid sekolah. Dan ruangan yang kutuju masih jauh – kantorku. Dan lagu yang menyambutku siang hari itu begitu text mengatakan betapa aku akan mengatakan cinta setiap hari pada si manis Chocolate.

Koridor itu seakan berdansa, "Love is all that I can give to you ..."

Tanganku sedikit kualahan mengangkat begitu banyak buku. Ini seharusnya tidak kubawa sekarng, tapi jika buku-buku ini kutinggal di keranjang sepedaku maka tidak akan berbekas dan hilang dalam sekejap. Dan tanganku mulai pegal-pegal, kantor masih belum terlihat, dan akhirnya yang sudah tidak sabar menanti pun mencuat keluar terlempar. Buku-buku ini terjatuh, lembaran-lembaran kertas tersebar dan beberapa murid di ujung jalan melihatku. Untuk mereka, ini adalah pemandangan yang biasa. Aku tidak mungkin lepas dari buku-buku yang berjatuhan dari genggaman.

"Jatuh lagi, Pak Paul?", tanya seorang murid di depanku.

"Oh ... iyah," jawabku sambil merapikan ceceran kertas-kertas kerja. Aku tak mengenalinya karena mungkin ia tidak terlalu aktif di kelasku. Aku mengajar Matematika.

"Love is more than just a game for two."

Buku-buku rapi, dan ..

"Pak, ini ...", ia menyerahkan buku The Sumadartson Code karya Divad Nosavo. "Oh thank you dear, ini buku yang penting, aku susah payah mendapatkannya dan belum siap untuk kehilangan."

Gadis itu tersenyum, "Your most welcome, sir. Saya senang bisa membantu bapak."

'Ohh ... it's just the way you look in me ...'

"Pak Paul, tidakkah lagu itu indah?", tanyanya tiba-tiba dan itu yang membuatku menghentikan langkah untuk meninggalkannya. Lagu yang menyambutku ketika memasuki pintu sekolah masih terdengar dan hampir habis menuju reff. terakhir.

"Ya, aku heran siapa yang memutarnya di siang hari seperti. Tidakkah itu lagu yang seharusnya diputar di candle-lite dinner?", dan ia terlihat tersipu malu, pipi memerah dan aku sedikit berdesir. Ohh seandainya Chocolate di sini pasti ia akan cemburu melihatku merayu.

Aku meninggalkannya, dan kudengar samar-samar bisikannya pada teman wanita di sebelahnya, "Ohhhh .... so cuteee!"

Sungguh, aku tak bermaksud begitu. Tapi mereka tetap bukan tipeku. Dan sampailah aku di depan kantor, kurengkuh knob pintu, kuputar dan kubuka perlahan. Wajahku sedikit ketakutan dan memelas, "Maaf aku terlambat", kataku sambil membungkukkan badan berkali-kali. Jurus sembah yang kulakukan ini selalu berhasil untuk memancing maaf dari mereka yang sering kubuat sedikit kesal dengan keterlambatanku untuk rapat.

"Tak apa, Pak Paul, kita baru saja mulai. Silakan duduk," jawab ibu kepala sekolah, Nyonya Putnam. Ia wanita paruh baya yang bijaksana, dan tempatku mengadu banyak hal tentang diriku, caraku mengajar, dan tentu saja, murid-muridku. Hari ini ia memakai baju dengan warna favoritku, biru. Aku sedikit tenang dengan warna itu, dan menghela nafasku sambil duduk, aku pun lega.

Di sebelahku, Pak Yos, menatapku tajam. Aku sedikit salah tingkah dan sibuk meletakkan buku-buku yang kubawa tepat di bawah kaki meja. Seolah penduduk kantor yang akan rapat itu menungguku selesai dengan kesibukannku, aku pun merasa bersalah dan memutuskan untuk berhenti mengurus di mana buku-bukuku akan kuletakkan. Aku berhenti, perlahan-lahan dan menaruh mapku di atas.

"Maaf ....", pintaku sekali lagi.

Dan rapatpun segera dibuka oleh Ibu Rosa.

Pak Yos mendekatkan tubuhnya padaku dan berbisik, "Ramtha Zona itu apa?"

Aku melirik ke map di atas mejaku. Mapku yang bertuliskan 'Ramtha Zona" dengan font yang cukup besar. Lambang Piramida emas dalam lingkaran segi lima. Dan karena kumelihat bahwa ini membutuhkan penjelasan yang panjang, maka kujawab, "I will tell you later, Mr. Yos."

Ibu Putnam berdehem dan ku membuang pandangan ke Ibu Rosa, menegapkan tubuhku dan seolah peduli dengan rapat, meski saat itu aku merasa sangat tersiksa. Aku memiliki janji dengan dua orang gadis muda saat ini. Dan tak bisa kubayangkan betapa menggemaskannya mereka jika mereka marah-marah karena aku tak memegang janji. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 02, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Ageman BaruWhere stories live. Discover now