Bagian 5

31.3K 4.7K 4.4K
                                    

SALAH satu hadis yang paling membekas diingatanku selama pelajaran Pak Hamdan adalah bait cantik yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa perumpamaan orang mukmin yang membaca Al-Quran adalah seperti buah utrujjah, baunya harum dan rasanya enak. Mungkin itu alasan dibalik nama Zayyan selalu harum di sekolah.

Sebenarnya bukan hanya namanya saja, tutur katanya, tingkah lakunya, hafalannya, akademiknya, bahkan kepemimpinannya. Dia ditakdirkan tumbuh dengan pujian. Sampai sakitnya membuatku banyak ditanya tentang ketidakhadirannya oleh hampir seluruh penghuni sekolah. Dia disayang semua umat, hingga lapisan terluar sekolah seperti Pak Jaelani—satpam gerbang.

"Gimana kata dokter? Hasil visumnya cukup untuk melaporkan aku ke KPAI?" Lelaki yang tak pernah lepas dari belajar itu menoleh dengan lebam kecil di ujung kiri bibirnya. Dia menutup buku catatannya setelah menyadari kepulanganku.

"Tumben pulang cepat?" Zayyan sepertinya tengah asik menyalin ketertinggalannya hari ini saat aku memutuskan untuk menjatuhkan diri di atas tempat tidurnya yang selalu rapi.

Kami masih satu kamar saat kelas dua SMP, mengisi kamar ini. Namun semenjak lantai tiga dikosongkan aku lebih mencintai kesendirian. Orang mengira rumahku luas hingga ada tiga lantai, padahal justru karena tidak luas makanya dibangun ke atas bukan ke samping.

"Apa kata dokter? Tulang rahang kamu retak?" Aku memilih menyalin pertanyaan yang sama tanpa menghiraukan pertanyaan Zayyan. Dia menoleh lalu tertawa tipis. Semudah itu pertengkaran kami terselesaikan, tanpa ada klarifikasi dan tanpa ada prosesi maaf-memaafkan.

"Hari ini aku diperiksa dokter neurologi." Keningku agak beradu mendengarnya.

"Kenapa dokter neurologi? Memangnya sekeras itu ya sampai pukulan kemarin membuat posisi otak kamu bergeser?"

"Nggak lihat itu otot-otot tangan terbentuk sejak kamu sering latihan kelenturan pake tali stretching. Kalau nggak keras, mana mungkin sampai lebam begini."

"Soal kemarin, aku udah bilang ke Papa kalau kemarin memang bilang bakalan pulang telat, tapi aku yang lupa bilang." Dia klarifikasi, padahal aku sudah enggan membahasnya.

Grafitasi mataku mendadak berat saat kepalaku bersentuhan dengan bantal. Nikmat tiada tara terasa semakin bertambah saat aku menarik selimut, "Bangunkan aku saat matahari terbit dari barat ya," pintaku.

"Kalau berencana tidur selamanya, tidur di kamarmu sana!"

Aku tidak menanggapinya, kamarku masih berantakan karena tak sempat kubereskan tadi pagi. Setelah rasa dinginnya hilang, kini seluruh persendianku seperti berpisah antara satu dengan yang lain. Saking lelapnya aku tidak ingat apapun lagi selama tidur. Aduhai, tidur siang adalah nikmat Tuhan yang sempat dianggap membosankan ketika kecil.

Mataku kembali terbuka menjelang matahari di arah jam tiga. Sebuah keterpaksaan karena keningku terasa basah hingga airnya tertampung dalam daun telinga. Awalnya kukira rumah ini bocor, namun teringat aku tertidur di kamar Zayyan di lantai dua, rasanya tidak mungkin atapnya bocor hingga menembus dua lantai.

"Kenapa haduknya nggak diperas dulu sih, Yan?" Aku agak menggerutu kesal sambil merubah posisi untuk duduk. Tidurku terganggu, lalu kepalaku berdenyut setelahnya. Zayyan masih duduk dalam kondisi semula, dengan beberapa buku terbuka di depannya, yang berbeda hanyalah handuk yang benar-benar basah menempel di dahiku.

"Basah apanya sih? Udah diperas juga, tapi baguslah. Bentar lagi mau adzan ashar, memang udah waktunya bangun." Mana mungkin airnya sebanyak ini kalau sudah dia peras.

"Tubuh itu segalanya buat atlet, harusnya kamu lebih bisa jaga diri. Jangan sampai gampang sakit. Kamu tahu sendiri Papa sama Mama itu jarang ada di rumah," tambahnya, lagipula tidak ada manusia yang mendamba penyakit dalam hidupnya.

Aku, Al-Qur'an, & Alzheimer Where stories live. Discover now