Dua

27 2 0
                                    

Gleerrr...

Gemuruh petir kembali terdengar, kali ini lebih keras.  Tiga orang anak SMA nyaris berteriak histeris. Cepat-cepat mereka berlari ke arahku dan berdiri di bawah atap toko yang sama.  Melihat mereka semakin menguatkan hasratku untuk bernostalgia di sini.

Aku yakin aku menyukai Bayu. Sejak saat itu,  Bayu menjadi subjek dari puisi-puisi tanpa judul yang ku tulis. Kadang hanya satu bait, tiga baris, bahkan hanya sebaris.

Dia menjadi mimpiku dalam diam.

Anganku menari dalam bayangnya. Dan tatapannya mencuri detak jantungku.
Jalan yang kami lalui kini terasa singkat, begitu cepat berlalu.

Terkadang aku berharap rumah kami pindah ke  kota lain, hingga kami berjalan semakin jauh. Angin yang bertiup pun  terasa sejuk, bunyi petir terasa merdu, dan hujan terasa hangat.

there’s something in your eyes that’s far too revealing
why must it be like this a love without feelin’
something is wrong with you i know
i see it in your eyes
believe me when i say
it’s gonna be okay


Alunan musik terdengar lembut dari dalam toko. Aku tahu lagu ini. Lagu Celine Dion yang kini semakin menghanyutkanku dalam nostalgia ini. 

Dulu juga kami sering mendengar musik ketika berteduh  di sini. Mulai lagu barat sampai dangdut yang membuat Bayu ikut bergoyang.

Tanpa sadar aku terkekeh mengingat lucunya tingkah Bayu. Refleks anak SMA  disebelahku menatap bingung dan aku hanya bisa tersenyum singkat pada mereka.

Aku ingin sekali memberitahu perasaan ini pada Bayu. Namun aku punya sejuta alasan untuk tidak melakukannya. Salah satunya aku sangat menyukainya dan tidak ingin ia menjauh bila ternyata perasaan kami tidak sama.

Bayu terlihat bisa saja terhadapku,  tak lebih seperti seorang teman. Teman yang saling membantu.

Dan waktu berjalan seperti itu hingga di akhir SMA, aku mulai cemas. Rasa takut  berpisah dengan Bayu semakin menghantuiku. Sebisa mungkin aku menghabiskan waktu bersamanya.

Dia akan pergi ke luar negeri, kuliah bersama abangnya yang sudah bekerja disana.

Dan aku....

aku hanya bisa memendam perasaan ini semakin dalam dan hanyut tenggelam.

Aku ingat pagi itu, 20 Juni 2010, menjadi hari terakhirku melihatnya sampai hari ini.  Ia menemuiku di rumah, mengatakan bahwa dia akan pergi jauh. Tatapannya sangat sedih seolah tidak ingin berpisah jauh denganku.

Saat itu dengan cepat aku menyimpulkan bahwa itu adalah perasaannya sebagai seorang teman, bukan seperti perasaanku.
Ia akan berangkat ke Singapura meninggalkanku dan perasaan ini.

Aku ingin menangis tapi untuk apa ?

Aku ingin menahannya tapi mengapa ?

Toh, aku hanya teman baginya.

Satu hal yang harusnya aku lakukan waktu itu adalah jujur tentang perasaanku.

Harusnya aku menghalau rasa takut, malu dan justru menyampaikan perasaanku.

Namun hal yang kulakukan waktu itu adalah menceritakan hal konyol tentang bunyi petir yang berbeda di luar negeri. Dia tertawa dan itu adalah hal bodoh yang pernah ku lakukan.

Dan dia pergi.

Terbang membawa separuh perasaanku ke negeri orang.

Dan setiap kali aku melewati jalan ini, yang terkenang adalah cerita-ceritanya dan  suara tawanya.

Senja Tanpa JinggaUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum