Rain, Storm, and Pain *25

Start from the beginning
                                    

"Kalau begitu, berikan aku kartu kreditmu."

"Tidak." Rainna membalas dengan tegas, hingga dia tersadar. "Maksudku, aku tidak membawanya."

Ayahnya menatap tas tenteng yang dipegang Rainna dengan penuh selidik. "Lalu, apa yang kau bawa kemari?"

"Hanya ponsel dan beberapa cash," balas Rainna. "Kalau begitu sudah dulu, Yah. Aku tidak dibutuhkan di sini, kan?"

Rainna baru saja hendak meninggalkan apartemennya, sebelum Ayahnya mengacaukan perasaannya dengan menarik tas yang ditentengnya. Itu membuat Rainna terjatuh bersembab di atas ubin apartemennya. Hatinya muak dan semua kepura-puraannya menghadapi Ayahnya, meledak begitu saja.

"Hentikan, Ayah!" serunya yang membuat suara petir terdengar keras dan dekat.

Ayahnya melepaskan tasnya sambil meminum vodka-nya. Rainna samar-samar bisa mendengar suara bising alarm mobil dari kejauhan karena mobil tipe rendah itu terlalu peka terhadap suara keras di dekatnya.

"Nih!" Rainna mengeluarkan beberapa lembar uangnya dan membantingnya di meja. "Sudah! Aku mau kembali ke asrama!"

Setelah keluar dari apartemen itu, Rainna cepat-cepat memasuki lift yang kebetulan tengah kosong.

Di dalam sana, Rainna memijit kepalanya berulang kali, menghela nafas berat sambil bergumam pelan, "sial."

*

Light sedang tidak mood pagi ini, pasalnya hari ini Kazie akan pergi. Mungkin butuh beberapa jam untuk kembali, mungkin beberapa hari, beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan. Peluang terburuknya adalah, dia tak bisa kembali.

Petir di atas sana mendua, kilat menari dan guntur menjerit menyatakan perasaannya. Masih terjebak di bawah rasa yang sama, Light tidak paham, apakah dirinya tengah patah hati atau mungkin tidak rela. Atau mungkin keduanya adalah jawaban?

Light tak berani menyentuh air di saat dia emosi seperti ini, mungkin saja para penyihir yang berlindung di bawah payung yang sedang menuju bangunan cadangan itu bisa saja menjadi korbannya. Tidak ada yang tahu. Maka dari itu, Light berdiam diri di sana, menahan emosinya dan takut bahwa seluruh langit akan dijajah oleh kilat.

Cahaya putih menghampirinya, Light tak bisa menahan diri untuk senang. Tapi entah karena faktor apa, rasanya Light tidak ingin bertemu Kazie yang datang berteleport saat itu. Semoga saja ini bukan pesan perpisahan.

Kazie yang mendarat di luar tempat perteduhan, membuat Light buru-buru menarik Kayaka masuk. Hujan sangat deras dan Kazie hampir basah kuyup, padahal dia datang berteleport.

"Terima kasih, Light." Kazie tersenyum tipis. "Mau kubawa kau ke merkurius?"

Light bisa melihat senyuman Kazie, tapi bisa tahu juga kalau Kazie tengah bersedih hati. Di sana, Light merasa lemah. Dia lebih menginginkan kekuatan yang mampu membuat orang-orang tertawa daripada petir.

"...terima kasih tumpangannya, tapi mungkin aku akan menunggu hujan reda," balas Light.

"Apa kau sedang marah?" Light baru saja akan mempertanyakan darimana sumber pertanyaannya itu. "Langit hari ini terlihat tidak senang."

Light terdiam beberapa saat, lalu menjawab dengan tenang. "Ya, aku sedang merasa...cemas."

"Apapun itu, redakan emosimu dulu. Kau ingat kan, kalau Piya takut petir?"

Bukan perasaan Light, tapi dia melihat pandangan Kazie menatapnya penuh luka dan sesak. "...kalau begitu, katakan padaku kalau kau akan baik-baik saja." Light memegang kedua pundak Kazie. "Tolong?"

The Sorcery : SKY Academy [Telah Diterbitkan]Where stories live. Discover now