Thirty Two : Aku adalah Kakakmu

15.3K 847 34
                                    

Suasana perjalanan mendadak hening ketika sang pria menempatkan wanita itu duduk disampingnya. Sepanjang jalan, Tak ada kata yang terucap meski sudah satu jam mereka duduk bersama didalam mobil ini. Waktu yang hampir pagi tak menyurutkan ketegangan diantara mereka. Wanita yang tengah hamil tua itu pun sama sekali tak memperlihatkan raut kelelahan diwajahnya.

Sejak seorang wanita muda mengantarkan wanita yang tengah hamil ini ke tempat yang mereka setujui, Indah, sama sekali tak menunjukkan keinginan untuk membuka topik pembicaraan selain kalimat, "Aku tak ingin kembali ke tempat itu."

Tak banyak yang bisa dilakukan oleh Trace kala mendapatkan reaksi seperti itu darinya. Ia hanya bisa menunjukkan sahutan berupa helaan napas kasarnya, yang mungkin saja terdengar oleh wanita itu, mungkin tidak. Malam ini merupakan kali kedua ia melihat Indah tampak murung sejak pertemuan pertama mereka saat di Seoul.

Indah tampak tak ramah. Dengan garis besar yang tersirat di keningnya wanita itu enggan untuk diajak berbagi. Trace pun tak perlu bertanya siapa yang menyebabkan wanita itu bersikap demikian. Pria yang bernama Adrian itu pastilah dalangnya. Ia tak mengerti mengapa Indah bisa mencintai pria itu sampai mengandung benihnya jika pada akhirnya Adrian-lah yang selalu menyakitinya.

"Kau sudah bisa bertanya sekarang."

Aba-aba dari wanita itu tak disia-siakan oleh Trace. Hanya terpaut beberapa detik setelah wanita itu bicara, berderet pertanyaan pun menghampirinya.

"Apa yang terjadi? Apakah kau bertengkar dengan mantan suamimu? Apa kau memutuskan untuk pergi dari flatmu itu? Apa yang kau lakukan bersama wanita tadi? siapa dia?"

Antara perasaan sebal sekaligus geli melanda Indah. Ia bisa saja tertawa atas apa yang ditanyakan oleh Trace. Ia merasa pria ini lebih berbakat menjadi seorang jurnalis dari pada menjadi selebritas di Negri Gingseng sana. Pria berambut pirang dengan aksennya yang aneh memnbuat Indah nyaris saja meledakkan tawanya. Hanya saja, didalam perutnya tak lagi tersedia kotak tertawa. Bibirnya kaku, bahkan hanya untuk menyunggingkan sebuah senyuman kecil sekali pun.

Banyak hal yang melelahkan hari ini. Banyak cerita yang harusnya bisa ia utarakan pada Trace. Hanya saja, ... ia masih tidak sanggup bercerita semuanya. Pertemuannya dengan Adrian dan juga Ana menguras semua emosi dan tenaganya. Dirasanya, Anna lebih bertanggung jawab karena telah membelikannya makan malam.

"Kau lebih pantas menjadi wartawan, Trace. Pertanyaanmu melekat pas dalam otakku. Aku akan menceritakan semuanya nanti. Tapi, jika kau ingin tahu aku tak ingin lagi menginjakkan kakiku disana. Aku tidak mau berpijak dimana ada pria itu disekitarku. Aku butuh ketenangan."

Trace bisa menangkap ada kegamangan disana. Hati wanita itu, terasa lelah seperti apa yang diutarakan olehnya. Indah mungkin benar-benar lelah, karena sesuatu yang belum ia ketahui. Tapi, ia yakin bahwa sesuatu yang telah dikatakan pria itu pasti telah menusuk dalam ke hatinya. Indah pasti sudah amat terluka sampai tidak lagi memberikan kesempatan pada pria itu untuk memperbaikinya.

"Apakah kau sudi membagi alasan mengapa kau bertengkar dengannya?" tanyanya dengan penuh kehati-hatian. Ia pernah mendengar dari mendiang ayahnya, ayah mereka, bahwa hati seorang wanita sulit terbaca. Sangat dalam, melebihi dalamnya samudera.

Indah tersenyum. Tapi, bukan jenis senyuman yang menyenangkan. Terlihat pedih dan penuh kekecewaan. Siapa saja yang melihatnya mampu menebak apa yang terjadi pada wanita itu. Indah mungkin bisa saja menangis seperti bayi, meraung layaknya orang gila. Namun, wanita itu tidak melakukannya dan memilih bungkam atas kesakitan yang seharusnya dibagi dengan orang lain.

"Dia ... astaga, mengingat wajahnya saja aku sudah mulai tak sudi." Indah bernapas frustasi. Napasnya terdengar berat.

Trace pun akhirnya menggerakkan tangannya, membelokkan kemudinya dipinggir sebuah pertokoan yang mungkin sebentar lagi akan dibuka itu. Ia memperhatikan wajah Indah yang muram.

"Tak apa kalau kau tidak kuat." Sergahnya.

Indah menggeleng pelan. Air mata sudah mulai menggenang di pelupuk matanya. Wajahnya hampir memberengut seperti menahan sakit yang tak tertahankan. "Kau perlu tahu untuk bisa menolongku."

Pria berambut pirang itu merasa bersalah telah memaksa Indah mengeluarkan rasa sakitnya. Wanita itu mungkin belum terbiasa mengeluarkan rasa sakitnya. Entah sudah berapa lama sikap 'terbiasa' itu menggeluti hati wanita itu. Tapi, apapun itu ia merasa tak tega melihatnya. Wajah Indah yang kesakitan nyaris membuatnya menirukan hal yang sama.

"Adrian ... hah ... dia mengatakan bahwa dirinya ragu pada anak yang kukandung, dan bepikir bahwa pria mana saja bisa menjadi ayah ini." Indah sesenggukan. Tangisnya tak bersuara, tapi sentakan yang terlihat benar-benar membuatnya tampak menyedihkan dari pada menangis.

"Indah ..." Trace berusaha meraih wanita itu, tapi Indah segera menjauhkan dirinya. Ia merasa ceritanya belum selesai.

"Masih banyak yang perlu aku ceritakan padamu."

Trace menggeleng tak mengamini ucapan itu. Indah perlu istirahat. Melihat wanita itu hancur seperti ini, rasanya hatinya pun ikut hancur. Tak terbayangkan apa yang akan ia lakukan nanti pada Adrian. Ia bersumpah akan memukuli pria itu sampai hancur bila perlu.

"Aku tak perlu mendengarkannya. Aku tahu kau bukanlah wanita seperti itu, Indah. Aku percara padamu." tukasnya.

Indah terkekeh. Dalam kubangan tangisnya ekspresi itu tampak sangat mengerikan. Wanita itu sudah resmi hancur-sehancurnya. Indah merasa bahwa dunia ini benar-benar sangat lucu. Memuakkan untuknya kembali mengingat betapa takdir memutarkan hidupnya.

Bahkan, orang yang baru beberapa kali ia temui lebih bisa menaruh rasa percaya begitu saja kepadanya. Melebihi apa yang bisa diberikan seorang Adrian, pria yang amat ia cintai, ayah dari bayinya.

"Kau bisa begitu mudahnya mempercayaiku? Kau kira siapa dirimu?" Tanya Indah yang merasa tertantang. Ia perlu tahu mengapa pria ini bisa begitu baik. Tidak banyak keuntungan yang bisa diambil dari janda hamil yang miskin sepertinya. Ia tak bisa membalas apapun yang telah diberikan oleh Trace kepadanya, baik dulu atau pun sekarang. Pria itu terlihat seperti pelindung.

"Aku bisa mengenalmu, lebih dari apapun Indah. Percayalah, apapun yang akan kau lakukan, aku akan berada dipihakmu."

Indah menggeleng. Tangannya terangkat. Ia masih tak bisa mencerna alasan yang tak jelas seperti itu. Ia takkan pernah mengerti apa yang diinginkan oleh pria itu. Baginya tidak mungkin ada orang lain yang mau membantu wanita sepertinya tanpa pamrih. Ia sudah begitu banyak pengalaman tentang hal ini dan sudah paham betul kemana ini akan berjalan.

"Katakan! Kenapa kau begitu baik padaku, Trace? Aku bukan siapa-siapa untukmu. Aku bukan temanmu, Aku bukan kekasihmu, Aku bukan saudaramu, dan aku ... bukan keluargamu." Tanya Indah yang mulai merubah haluan topik pembicaraan mereka.

Trace hanya bisa memandangi wanita itu sedalam yang ia bisa. Tatapan mata Indah membuatnya kaku dan tak berdaya. Tak ada pilihan lain. Jujur atau tidak sama sekali. Berani mengambil langkah, atau ia akan kehilangan wanita ini selama-lamanya.

"Karena aku ... Aku adalah kakakmu."  

A Thousand Vows For You ( COMPLETED in Ebook Googleplay)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang