Takdir (1)

8 0 0
                                    

[Prolog]

Perpisahan memang selalu menjadi penderitaan
Perpisahan memang selalu meghadirkan luka
Perpisahan memang selalu memberikan kesedihan

Penderitaan yang tak kunjung selesai
Luka yang mungkin tidak dapat diobati
Kesedihan yang amat mendalam

Namun apa yang bisa kita lakukan untuk menghindari perpisahan
Setiap pertemuan akan selalu diakhiri dengan perpisahan

Lantas untuk apa bertemu
Bila hanya akan berpisah juga
Tapi tuhan tahu segalanya
Karena dari pertemuan itulah
Lahir kekuatan untuk menghadapi perpisahan

Perpisahan mengakhiri sesuatu
Namun juga memulai sesuatu yang baru
Itulah takdir yang tidak bisa dipilih
Meski kadang takdir itu sulit kita terima
Meski kadang takdir tidak sesuai yang kita inginkan
Meski kadang takdir yang membuat kita berpisah

~ Takdir ~

Kulihat sosok itu dari kejauhan, tak ingin rasanya melepas kepergiannya. Sosok yang selama ini telah mengisi ruang kosong di hatiku. Sosok yang selama ini telah memberi warna pada hidupku yang dulunya kelabu. Sosok yang selama ini selalu hadir di setiap langkahku, bahkan saat aku menutup mata. Hadir dalam dunia kecilku, sosok itu tak penah mau meninggalkanku sendiri. Bayangan dirinya selalu saja hadir dan mengganggu hariku. Lantas atas apa yang selama ini telah aku lalui bersama dirinya, kenapa hari ini aku harus merelakan kepergiannya. Kenangan akan waktu yang sudah kami lalui muncul bagai salju di musim dingin, turun begitu saja tanpa tahu apa yang dirasakan orang-orang saat salju yang dingin menyentuh kulitnya. Sakit itulah yang aku rasakan. Sakit melihat ia berdiri tepat di depanku, namun tak dapat kuraih. Sakit saat sadar akan kenyataan bahwa kita harus berpisah. Sakit karena aku tak dapat lagi memegang tangannya dan memeluk dirinya saat kami mengalami masa sulit.

Kamis yang cerah mengawali perjumpaan kami. Aku yang saat itu baru pindah sekolah, hanya diam di pojokan. Takut untuk berkenalan pada orang-orang yang baru pertama kali kulihat. Lalu dia hadir di depanku, Randy. Randy menyapaku dengan lembut, dan memulai obrolan diantara kita. Ya, kami tidak membicarakan hal yang spesial, hanya obrolan ringan. Obrolan ringan yang dapat mencairkan suasana hatiku. Obrolan ringan yang berhasil membuka tirai di depanku, membuatku berani bergabung dengan kerumunan di depanku. Obrolan ringan yang menjadi permulaan kisahku.

Kehidupan di SMA yang awalnya biasa saja, berubah menjadi sesuatu yang berarti dan tak terlupakan. Masih teringat jelas bagaimana ia mengajarkanku akan pelajaran seni musik yang sangat aku tidak bisa. Tak hanya menjelaskan teori, namun juga menyanyikan lagu yang ia buat untukku. Sungguh manis tingkah lakunya. Selain musik, ia juga pandai dalam olahraga. Bukan sekali dua kali aku menemaninya pergi berolahraga entah itu futsal, basket bahkan renang. Namun ada satu hal yang paling ia benci dan tidak bisa ia tangani, matematika. Seringkali aku memukulnya karena tak mengerjakan PR matematika, tak lupa aku mengajarkan materi yang aku bisa meski tidak yakin dia mengerti penjelasanku. Kami saling melengkapi dalam hal pelajaran. Ya termasuk saling bertukar PR, aku mengerjakan PRnya di pelajaran yang aku bisa, begitu pula sebaliknya. Ya, aku tau itu perbuatan yang tidak boleh. Namun itulah remaja.

Beranjak dari remaja, persahabatan kami tidak terhenti saat kami lulus SMA. Kami melanjutkan kuliah di universitas swasta yang sama. Meski awalnya sedih karena tidak mendapat perguruan tinggi negeri, aku perlahan bisa menerima takdirku yang sudah ditentukan tuhan. Hal itu tak lain karena Randy, ia hadir dan menghiburku untuk tetap tersenyum, "kadang hidup berjalan tidak seperti yang kita inginkan, namun itulah takdir. Kita harus terus berjalan mengikuti takdir yang sudah Allah tentukan" kata-katanya itu perlahan membuatku sadar akan realitas kehidupan yang seringkali berjalan tidak sesuai kehendak.

Kami yang mulai dewasa, saling jujur akan perasaan masing-masing. Hal itulah yang mengawali kisah cinta kami. Dia seringkali membantuku dalam mengerjakan tugas, begitupula sebaliknya. Tak lupa setiap ada waktu kosong, aku dan dia bertemu. Entah untuk makan bersama, nonton, atau sebatas untuk bertatap muka melepas rindu. Banyak orang berkata kehidupan kuliah berat karena banyak tugas, nyatanya aku menikmaati kehidupan kuliahku, ya semua karena dia. Dia mengenal temanku, aku mengenal temannya, kami seringkali bermain dan kumpul bersama. Kehidupan kuliah berjalan tidak semenyeramkan kata orang.
Entah sejak kapan, aku menjadi bergantung pada Randy. Aku sempat berpikir akankah Randy merasa risih akan sikapku, tapi mau bagaimana lagi ia sudah menjelma menjadi sosok yang amat penting di hidupku. Tapi nyatanya Randy tetap tersenyum padaku, dan selalu mengulurkan tangannya padaku. Pernah sekali ia memarahiku, karena sikapku yang keterlaluan. Karena rasa rinduku yang sudah tidak tertahan aku rela pergi menemui Randy, meski saat itu sedang turun hujan deras dan aku tidak meminta izin pada orang tuaku. Bukannya mendapat sambutan hangat aku malah dimarahi karena sudah membuat orang lain khawatir akan diriku. Tapi aku tahu bahwa saat itu Randy marah karena khawatir padaku dan demi kebaikanku. Saat inipun aku sudah sadar bahwa saat itu aku yang salah.

Randy yang berhasil memperbaiki hubunganku dengan adikku, yang sempat renggang karena salah paham. Ia membantuku menjelaskan kejadian sebenarnya pada adikku. Adikku melihatku sedang mengobrol dengan teman laki-lakinya. Setelah kejadian itu, orang tersebut menjauhi adikku. Wajar, bila adikku menyangka bahwa itu adalah ulahku. Padahal kejadian yang sebenarnya adalah justru aku yang menanyakan keseriusan orang itu pada adikku, dan hasilnya ia malah kabur ke pelukan wanita lain. Awalnnya adikku tidak ingin mendengarkan penjelasanku, namun setelah dijelaskan secar rinci oleh Randy, ia berhasil mengerti.
Lulus dari kuliah, kami sempat bekerja di perusahaan yang sama. Hal itu pastinya mempererat hubungan kami, kami sudah berkomitmen untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan. Namun takdir berkata lain. Setelah apa yang kami lewati selama 7 tahun, justru kini kami harus berpisah. Bukan karena perasaan kami yang berubah, perasaan kami justru menguat hari demi hari. Namun kehendak orang tua berkata lain, aku harus meninggalkan dirinya untuk bersama pria lain yang dipilihkan kedua orang tuaku. Sedih, marah, sakit, semua bercampur menjadi satu. Aku mengunci diri di kamar selama 2 hari, menangisi takdir ini. Memandang foto kebersamaanku dan Randy, menambah kepedihan di dalam hati ini. Rasanya ku tak sanggup melanjutkan kehidupan ini, menjalani takdir yang tak pernah kuinginkan atau kubayangkan sekalipun. Namun kata-kata itu muncul lagi "kadang hidup berjalan tidak seperti yang kita inginkan, namun itulah takdir. Kita harus terus berjalan mengikuti takdir yang sudah Allah tentukan" Randy, lagi-lagi sosok itu yang membuatku kuat. Kubuka pintu kamarku, kukatakan pada orang tuaku bahwa aku siap, aku siap menerima takdirku. Meski itu sama saja meninggalkan orang yang amat kusayang.

~ To be continued ~

The Story of LifeWhere stories live. Discover now