ENAM

3K 224 9
                                    

Berulang kali Anjani mendesah pelan. Bahkan saat ini, tubuhnya masih terasa lemas seiring dengan tatapan kosongyang membuatnya hampir persis seperti mayat hidup tanpa gairah.

Dunianya seakan berhenti. Ia tak dapat merasakan apapun lagi. Mengabaikan orang-orang yang memanggilnya dan tidak perduli pada mereka yang menyapanya.

Saat ini, Anjani justru merelakan wajahnya bersentuhan pada meja dengan kedua tangan yang menggantung di udara. Seakan-akan ia ingin menjadikan meja tersebut menanggung semua beban yang ada di dalam dirinya. Tidak – tepatnya di hatinya atau bahkan di pikirannya yang sudah mulai menunjukkan tanda-tanda kegilaan.

Mungkin keputusannya kali ini untuk datang ke rumah sakit dan bekerja adalah keputusan yang salah. Karena sejak datangpun, Anjani hanya membuat orang-orang di sekitarnya bingung dan berakhir meninggalkannya sendiri.

Beruntung, Adel datang dan menemaninya di kantin sekarang. Meskipun, Adel juga menerima perlakuan yang sama. Melihat Anjani yang seperti mayat hidup tanpa ada gairah sedikitpun. Tapi bedanya, Adel mengetahui penyebab yang membuat Anjani seperti ini. Hal yang bahkan sangat tidak masuk akal untuk Adel.

"Jadi, lo tetap disana meskipun gue sudah mengirimi pesan tadi?" tanya Adel pelan setelah habis mengunyah baksonya.

Anjani mengangguk lemas.

"Terus, lo nggak berniat untuk pergi meskipun gue udah nyuruh lo pulang?" Adel menekankan kata-katanya dengan mata yang sedikit melebar.

"Gue berniat."

"Lalu?"

"Gue berhenti."

"Kenapa?"

"Suara petir."

Adel memejamkan matanya frustasi, mendengus seraya menatap tajam Anjani yang sama sekali tidak menatapnya.

"Dan lo ikut lari ke dalam, saat si Kenzo itu menyebut nama Ray?"

Anjani mengangguk lemas untuk ke sekian kalinya.

"Kenapa?"

"Gue pikir ada yang terjadi sama dia?"

"KENAPA LO HARUS PERDULI?!"

Anjani sedikit bergetar karena terkejut saat suara Adel sedikit naik dari sebelumnya. Tidak hanya Anjani tapi orang-orang yang ada di kantin ini pun sama. Mereka memandang keduanya dengan bingung, ada yang tidak suka, dan ada yang menggeleng seakan menyindir.

"Suara lo .. sangat besar Del," ucap Anjani yang masih menaruh wajahnya di atas meja.

"Biarin! Gue nggak perduli!"

"Terus apa yang terjadi di dalem?" lanjut Adel.

Anjani tertegun saat itu. Ia mengingat, saat Kenzo segera menutup jendela di hadapan Ray yang membuat Ray hampir jatuh lemas karena dadanya yang kembali sesak.

Anjani menegapkan tubuhnya kali ini, menatap Adel dengan kosong dan wajah yang sangat buruk.

"Dia takut hujan. Tidak .. dia hanya membencinya. Tapi kebencian yang benar-benar tidak bisa di perkirakan."

Adel mengangguk mengerti. "Oke. Jadi tuan Ray itu memiliki ketakutan lagi di dalam dirinya. Bukankah kita sudah menduga itu? Kecelakaan besar itu pasti membuat dirinya sangat buruk kan?" Adel melipat kedua tangannya, menatap tajam Anjani di hadapannya.

MR. PHOBIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang