[19]

90.2K 5.4K 127
                                    

selamat membaca 😀

.
.
.

"Lho, udah bangun, Lis?"

Aku meringis, menunjukkan deretan gigi putihku. Mendekati Mama yang masih sibuk menyiapkan sarapan untuk semua penghuni rumah. "Bikin apa, Ma? Ada yang bisa Elis bantuin?"

Mama memindahkan telur dadar gulung dari teflon ke piring. Sembari menggeleng, Mama memotong telur dadar gulungnya menjadi beberapa bagian. "Nggak usah. Ini udah selesai."

"Maaf, Elis nggak bantuin Mama."

Mama tersenyum lantas menyerahkan piring berisi potongan telur dadar gulungnya kepadaku. Secara otomatis Mama memintaku membawa piring tersebut ke meja makan. "Nggak apa-apa. Mama tahu kamu pasti capek."

"Mama juga lebih capek."

Mama tertawa mendengar sahutanku. Bersama kami menuju meja makan. Aku membantu Mama untuk menata sarapan kami pagi ini. Pagi ini, untuk 5 orang. Papa, Mama, Mas Rey, aku, dan Mas Bian. Ahh, aku masih tidak percaya kalau kami akhirnya benar-benar menikah.

"Nak Bian udah bangun, Lis?" Aku menggeleng, dijawab helaan napas panjang oleh Mama.

Memang tadi Mas Bian sempat bangun saat subuh. Namun, tidak tahu kenapa selepas subuh dia kembali mengajakku ke tempat tidur. Bukan untuk melakukan kegiatan yang aneh, hanya berbaring memelukku hingga dia tertidur pulas kembali.

"Bangunin, gih! Suruh sarapan."

Tanpa protes, aku segera beranjak menuju kamar berniat membangunkan Mas Bian. Senyumku terulas saat melihatnya masih bergelung di balik selimut. Mungkin benar kalau Mas Bian sangat kelelahan, buktinya setelah subuh saja dia tidur lagi. Padahal biasanya setelah subuh pantang baginya untuk tidur lagi. Berangkat ke kantor saja pagi-pagi buta. Biasa, demi menghindari macet.

"Mas ... bangun ...." Tubuhnya ku goyangkan pelan. Mas Bian sempat menggeliat, tapi dengan cepat dia menemukan posisi nyamannya kembali. Ternyata cukup susah membangunkannya dengan kondisi seperti ini. "Mas ...." Dia masih saja diam, tidak bergerak.

Aku mendesah putus asa. Bersedekap sembari memperhatikan sosok tampan suamiku. Harus ada cara untuk membuatnya bangun. Namun, dengan apa?

"Aku raja tidur," tiba-tiba saja suara Mas Bian terdengar, meski sangat lirih. "Biar bangun, butuh ciuman ratu tidur dulu."

"Mana ada raja tidur?"

"Ada, barusan."

Aku menghela napas panjang. Mas Bian benar-benar banyak maunya. Ingin sebenarnya aku mengabaikannya saja, dan pergi ke meja makan lebih dulu untuk sarapan. Akan tetapi, aku tidak bisa melakukannya. Sekarang ini, status Mas Bian adalah suamiku. Yah, masa aku sarapan lebih dulu di saat dia belum sama sekali.

Dengan amat terpaksa, aku mencondongkan diri ke arahnya. Berniat mengecup pipi Mas Bian, sebagai syarat agar dia lekas bangun. Namun, saat jarak kami tinggal beberapa senti saja tubuhku serasa ditarik. Entah bagaimana caranya, Mas Bian sudah berada di atas tubuhku. Melumat bibirku.

"Mmmm-Masss ...."

Dia tidak peduli meski aku mengerang minta dilepaskan. Dia tidak peduli meski aku terus berusaha mendorong dadanya agar tubuhnya menjauhiku. Dia tetap mengungkungku. Fokus dengan setiap kecupan lembutnya di atas bibirku.

Kecupannya tidak hanya diam di bibirku saja, beralih ke rahang hingga leher. Ketika bibirku benar-benar bebas, aku mencoba kembali untuk menghentikan aksi Mas Bian. "Mas ... ssh-sarapan dulu ...."

"Ini lagi sarapan."

"Sarapan beneran."

Kepala Mas Bian mendongak. Keningnya mengerut. "Sarapan Indomie-nya si Vika?"

A Kiss for MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang