[11]

69.6K 6K 81
                                    

"Iya, Mas. Elis ada di sini." Nilam melirikku sekilas, memberi kode bahwa Mas Rey ingin berbicara kepadaku. Namun, aku menolaknya dengan gelengan kepala. Seharusnya Nilam tahu bahwa untuk saat ini aku sama sekali tidak ingin beradu argumentasi dengan Mas Rey maupun anggota keluargaku yang lain.

"Oke, nanti Nilam coba bujuk Elis."

Aku tidak lagi mendengar obrolan Nilam dengan Mas Rey yang berada di seberang sana. Lebih memilih untuk kembali menikmati bacaanku—novel romansa—saat ini. Selang beberapa saat kemudian, Nilam bergabung denganku setelah mengakhiri obrolannya dengan Mas Rey. Tengkurap di kasur, tepat di sebelahku.

"Ngapain sih lo pakai kabur-kabur segala, Lis?" tanya Nilam penasaran. Meski aku yakin Mas Rey sudah menceritakan garis besar mengenai alasanku pergi dari rumah, dia tetap saja ingin mengetahuinya langsung dari diriku. Tipikal Nilam. "Kalau alasannya protes karena gak dapat restu, itu konyol. Sumpah. Kekanakan."

Aku setuju dengan pandangan Nilam. Ini memang kekanakan. Bukannya menyelesaikan masalah, tetapi menambah masalah. Namun, bukan tanpa alasan aku pergi dari rumah pagi-pagi buta tanpa izin. Aku sudah tidak mempunyai cara lain untuk mengajukan protes. Mengurung diri di kamar tidak akan membuat orang rumah merespon bentuk protesku. Hanya dengan pergi dari rumah tanpa izin akan membuat mereka berpikir ulang kalau aku serius melakukan protes atas restu yang tidak diberikan oleh segenap keluargaku kepada Mas Bian.

Bukan protes juga, sih. Aku hanya meminta mereka memberi kesempatan seperti saat mereka belum mengetahui status Mas Bian. Itu saja, tidak muluk.

"Lis, gue mau coba ngasih saran." Dia mulai berujar lagi, tanpa peduli aku mau mendengarnya atau tidak. "Baiknya lo pulang, deh. Ini sama sekali nggak nyelesaikan masalah. Lo malah nambah masalah. Bisa-bisa bos lo itu semakin cacat di mata Om sigit sama Tante Tari. Disangka dia lagi yang mempengaruhi lo buat kabur."

"Yah, entar tinggal gue bilang kalau ide kabur murni dari gue."

"Emang mereka bakal percaya?" Aku terdiam, tidak bisa lagi membantah. Terlebih ketika Nilam menyampaikan bagaimana pandangan Mas Rey terhadap Mas Bian. "Tadi aja Mas Rey sempat nuduh-nuduh bos lo, kok."

"Nuduh gimana?" tanyaku dengan lirih. Nilam belum menjawab, hanya menghela napas panjang. Meski begitu aku sudah bisa menerka bagaimana tuduhan yang dilayangkan oleh Mas Rey. Ada kemungkinan Mas Rey mengira kalau aku pergi dari rumah berkat hasutan dari Mas Bian.

Memang kakakku yang satu itu selalu saja punya prasangka buruk terhadap Mas Bian. Heran.

"Udahlah, lo pulang aja." Nilam masih bersikeras membujukku untuk pulang. Dan tetap ku tolak dengan tegas, "Nggak. Gue belum mau pulang sebelum Papa, Mama, bahkan Mas Rey niat ngubah cara pandang mereka ke Mas Bian."

"Ya Allah, Lis. Kayak lo gak punya cara lain aja buat nyelesaikan masalah ini. Semua pasti ada jalan keluarnya, Elis."

"Nggak ada, Lam. Lagian ada alasan lain sampai gue senekat ini." Aku menarik napas sebentar, kembali teringat raut kecewa Mas Bian. "Gue mau nunjukin keseriusan gue buat ngebela Mas Bian. Seenggaknya Mas Bian tahu kalau statusnya nggak bikin gue malu."

"Dia ngira lo malu sama statusnya?"

Aku mengangguk, kemudian tanpa sadar menceritakan detil apa yang terjadi semalam. Dimulai dari bagaimana orang tuaku mengetahui status Mas Bian, kekecewaan dirinya, serta sidang oleh Papa dan Mama. Nilam hanya menganggukkan kepala saat aku bercerita. Dia tidak menyela dengan komentar maupun pertanyaan. Seperti menghargai diriku yang memang hanya membutuhkan pendengar, bukan komentator.

"Pantes sih dia marah." Komentar tersebut Nilam lontarkan setelah penjelasanku tuntas. "Lo udah coba hubungin dia?"

Aku menggeleng. Sebenarnya, aku ingin menghubunginya sejak semalam, atau setidaknya pagi tadi. Hanya saja otakku dipenuhi pemikiran untuk pergi dari rumah, jadi belum sempat menghubunginya. Lagi pula aku masih takut. Takut kalau ditolak karena dia masih marah.

A Kiss for MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang