Bab 32 (End)

86.5K 6.1K 146
                                    

Adam berlari ke ruangan yang di sebutkan oleh Mama Zia di telepon. "Ma..." ujar Adam saat membuka pintu kamar. Intan memberikan kode pada Adam agar tak bersuara dan menarik tangannya keluar.

"Zia kenapa Ma?" tanya Adam lebih menuntut.

"Hasil tes darahnya belum keluar mungkin sebentar lagi. Tapi Zia udah sadar dan sekarang lagi tidur. Dam, Mama mau tanya serius sama kamu. Sebenarnya kamu kenapa? Zia bilang dia nggak ngerasa buat salah, tapi tiba-tiba sikap kamu kayak gini."

Adam terduduk di bangku sambil mengusap kasar wajahnya. "Iya Ma. Memang Zia nggak salah. Adam yang salah main kabur gitu aja. Adam ada masalah tapi nggak cerita ke Zia, dan malah ngelimpahin kekesalah Adam sama Zia."

Intan duduk disebelah Adam dan menepuk pundaknya. "Awal-awal pernikahan memang banyak ujiannya. Tapi masalah memang nggak akan pernah selesai jika tidak dibicarakan. Mama udah sering merasakan kegagalan itu, gagal membangun komunikasi yang baik. Itu memang nggak mudah, meskipun mulanya kita selalu bilang cinta satu sama lain. Tapi ditengah-tengah salah paham sering terjadi. Itu sebabnya kedewasaan sangat diperlukan, jangan mementingkan ego masing-masing."

"Adam memang nggak berpikiran jernih. Waktu lihat Zia yang ada di otak Adam adalah memberikannya yang terbaik. Sampai sejauh ini, Adam kayak nggak ngelakuin apapun semua yang didapat Zia adalah pemberian Ayahnya. Zia mulai ngeluh sampai akhir pekan Adam masih kerja. Adam tahu dia pengin banget liburan, kencan berdua. Adam udah ada niatan buat ngambil cuti.

"Tapi, dua hari yang lalu Ibuk nelpon sambil nangis, bilang kalau Adik bungsu Adam minta kuliah. Adam jadi menguras otak, gimana caranya tetap memenuhi kebutuhan keluarga yang memang udah jadi tanggung jawab Adam sejak awal, sama memenuhi keinginan Zia. Belum lagi niat awal Adam yang mau membangun rumah sendiri. Puncaknya hari ini Zia malah dengan ceria menunjukkan ke Adam hadiah tiket liburan yang dikasih Papanya. Papa Zia juga sempet pesenin ke Adam buat ngambil cuti ngajak Zia liburan, Adam bahkan disuruh pindah lagi ke kantornya."

Intan berdecak. "Si Rudi selalu aja begitu. Papa Zia tuh suka nggak mikir, yang ada dipikirannya cuma caranya dia yang selalu menurutnya baik."

Adam bangkit dari duduknya. "Adam mau temenin Zia." Ucapnya lalu masuk ke dalam. Ia duduk di kursi disamping ranjang, Adam mengulurkan tangannya meraih jemari Zia. Zia terlihat menggeliat dalam tidurnya. Ia mengernyitkan keningnya lalu beberapa saat membuka matanya.

Zia langsung hendak bangkit begitu menangkap sosok Adam disebelahnya. "Mas..." lirihnya yang kembali menangis.

Adam menghapus air mata Zia dan beranjak ke atas ranjang sambil memeluknya. "Maafin Mas." Ucapnya penuh penyesalan, dengan titik air mata yang disembunyikannya dan langsung dihapusnya.

Intan bersama Bram masuk ke dalam ruangan bersamaan dengan Dokter yang memeriksa Zia tadi.

Dokter wanita tersebut ke arah Adam. "Bapak suami Ibu Zia?" tanyanya.

Adam mengangguk.

"Sepertinya firasat Ibu benar." Dokter tersebut mengalihkan senyumannya ke Intan. Intan menyambut senyuman itu, ia juga hanya menebak saja tadi, dan siapa tahu memang benar-benar sudah membuahkan hasil. Buktinya sekarang ia benar akan menjadi seorang nenek.

"Puteri Anda memang saat ini tengah mengandung." Adam memandang terperangah begitupun dengan Zia yang terkejut membuka lebar mulutnya.

"Stres, shock, ditambah dengan kondisi yang kurang fit menyebabkan pasien hilang kesadaran. Bapaknya dijaga isterinya benar-benar ya. Untuk hasil pemerisaan kesehatan lainnya semuanya normal, pasien tidak mengidap penyakit apapun." Ucap Dokter wanita itu lalu menyerahkan hasil tesnya ke Adam. Karena dokter tersebut merupakan Dokter umum, ia menyarankan Adam dan Zia untuk membuat janji dengan Dokter ahli kandungan, untuk pemeriksaan lebih lanjut.

SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang