Bab 1

93.9K 7.6K 105
                                    

Berulang kali Zia menghela napasnya, ini bukan pertama kalinya ia pulang ke kota kelahirannya, hanya saja kepulangannya kali ini mungkin untuk selamanya. Ya, akhirnya ia akan menetap dan ikut dengan Ayahnya.

Dengan gaya kasual lengkap dengan sepatu boots, Zia mengantre untuk mengambil barang bawaannya . Suasana bandara yang selalu riuh tak mampu menghentikan pakuan matanya kepada sang Ayah. Berdiri dengan tubuh tegap meski kerut diwajahnya sudah tak bisa tersamarkan lagi. Zia tersenyum tipis, harusnya ia bangga seorang Rudi Soetopo mau capai-capai ke bandara dan mungkin menunggu lama demi dirinya.

Zia mendekat dengan mendorong troli barang kecanggungan demikian terasa. "Sudah lama Papa menunggu?" sapanya.

"Baru sepuluh menit," sahut singkat sang Ayah, disebelahnya ajudan dengan sigap membantu mengambil barang bawaan Zia.

Zia berjalan menjajari langkah Ayahnya. Tidak ada tegur sapa lebih disana, hubungan yang terlihat sangat kaku, maklum saja, ia sudah dari usia tujuh tahun ia sudah tak tinggal lagi dengan sang Ayah. Terkadang Ayahnya secara khusus menemuinya, dan itupun hanya dihabiskan dengan makan malam bersama.

Setelah Ayah dan Ibunya bercerai Zia lebih memilih tinggal dengan sang Oma, Ibu dari Ibunya, di Arizona, Amerika Serikat. Opanya warga negara asli Amerika sedangkan Omanya adalah orang Indonesia mereka menikah dan menetap di Indonesia hingga Ibunya berusia tujuh belas tahun lalu setelahnya Omanya memilih mengikuti sang Opa ke tanah kelahirannya. Meski tidak menurun secara langsung wajah campuran itu tetap terlihat di wajah Zia.

Dan berbicara tentang Ibunya, Zia sendiri tidak tahu dimana rimbanya sekarang. Ibunya bukan menghilang. Ibunya berprofesi sebagai penyanyi dan sering berpindah-pindah tempat tinggal, hidupnya selalu bebas, dan sangat menolak kekangan, melihat bagaimana sifat Ayahnya yang sangat bertolak belakang Zia jadi sangat memahami kenapa Ayah dan Ibunya tidak bisa bertahan lama dalam hubungan rumah tangga.

Zia melangkah memasuki mobil. Mata Zia berputar mengamati mobil Ayahnya yang pasti dibeli dengan harga fantastis. Mungkin ia beruntung mempunyai Ayah yang kaya raya. "Kita makan malam bersama dulu di rumah," ucap Ayahnya memutus lamunan Zia dan hanya menanggapi dengan mengangguk sekilas.

Lama waktu berselang hanya keheningan yang hadir disana. Zia bahkan tak mengubah posisi kepalanya yang menghadap ke arah luar jendela. Kehidupan baru akan dimulai. Dengan berat hati ia terpaksa mengiyakan ajakan sang Ayah, ketika Omanya meninggal sebulan yang lalu. Opanya juga telah tiada sejak tiga tahun yang lalu. Ia jadi tidak mempunyai alasan untuk menolak karena Ayahnya tidak menginginkan ia hidup sebatang kara disana.

Mobil memasuki gerbang besar, pekarangan luas dengan sisi ditumbuhi tanaman hias menyambut. Rumah mewah yang terletak di tengahnya menjadi pemandangan tak asing bagi Zia, namun sudah lama sekali rasanya ia tidak ke tempat itu, tempat yang dulu sekali pernah ditinggalinya.

Kakinya melangkah turun ketika supir membukakan pintu. "Ayo," kata Ayahnya.

Beberapa pelayan yang berpas-pasan mengangguk sopan. Zia sedari tadi mengambil napas untuk memenuhi rongga parunya dan meminimalisir kegugupannya.

"Papa ... " pekik seorang remaja putri dan langsung memeluk Ayahnya.

Inilah mengapa ia tidak bisa lagi merasa beruntung memiliki Ayah. Ayahnya telah mempunyai keluarga baru yang sangat harmonis, dan ia semakin terlihat sebagai orang asing.

"Cindy. Kenalkan ini kakak kamu."

"Zia ... " ucapnya menjulurkan tangan. "Cindy." Sambutnya menatap Zia dengan pandangan aneh.

"Mama mana?"

"Itu." Tunjuk Cindy.

Seorang wanita anggun dan cantik berjalan mendekat. Zia tersenyum kecut, Ayahnya memang pintar memilih pengganti Ibunya. Suatu hari Ayahnya mengabarkan kalau ia akan menikah lagi dan meminta Zia untuk hadir, namun Zia menolak hadir dengan alasan sekolah. Dan ini kali pertama ia bertemu langsung dengan keluarga baru sang Ayah.

SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang