satu

254 3 2
                                    

Tidak ada yang lebih menyebalkan daripada karyawan-karyawanmu dengan cengiran khasnya menawarkan kenalan mereka sambil menyerahkan kerjaan. Yudhit memang mengalami hal menyebalkan itu beberapa bulan terakhir. Semua salah Ayah.

Dan Ibu.

Dan Adik-adiknya.

Setiap mereka main ke kantor, mereka selalu bertitip pesan: "Cariin istri ya, buat Bos Yudhit."

Yudhit awalnya merasa biasa-biasa saja. Toh, karyawannya juga biasanya selalu menjawab dengan tawa atau senyum. Tidak ada yang bertindak ekstrem. Tapi, beberapa bulan lalu ketika ayahnya datang untuk melakukan meeting, beliau menyelipkan pesan tajam di akhir penutupan meeting tersebut. Yang bunyinya (Yudhit ingat jelas, bahkan sampai detik ini):

"Bapak Ibu sekalian yang saya hormati, saya minta tolong, yang punya kenalan atau bahkan berkeluarga dengan anak gadis baik-baik, tolong kenalkan ke Bapak Yudhistira. Yang sudah kepala tiga tapi perempuan belum ada yang menempel."

Waktu itu, Yudhit hanya bisa tersenyum kaku walaupun ia kesal setengah mati. Dan mulai saat itu, banyak sekali foto-foto perempuan yang ditunjukkan kepadanya. Mulai dari foto profil media sosial, foto KTP, foto SIM, bahkan foto akad nikah. Iya. Akad nikah. Yudhit hampir dikenalkan dengan seorang janda beranak tujuh, yang untung saja tidak jadi karena ia langsung kabur ke Jepang dengan alasan bertemu rekan kerja.

Sebuah ketukan ringan di pintu ruangannya membuat Yudhit mengangkat kepala dari kertas-kertas laporan. Ternyata Sita, sekretarisnya.

"Permisi, Pak. Bapak Saka barusan menelepon. Katanya, Bapak ada janji dan sudah ditunggu."

"Ayah saya? Beliau bilang janji apa?"

Sita menggeleng, "Bapak nggak ngasih tau, Pak. Cuma bilang, ditunggu di Rumah Sakit."

Yudhit hampir memukul kepalanya sendiri di hadapan Sita. Bagaimana mungkin ia lupa bahwa hari ini adalah jadwal ayahnya check-up ke Rumah Sakit? Seharusnya, hari ini, sang ayah diantar oleh Juna, adik keduanya. Namun, berhubung di antara mereka sudah seperti kuah sop mendidih, Yudhit memilih mengalah dan menawarkan diri mengantar ayahnya.

"Oke, tolong telepon Bapak lagi dan bilang saya sudah di perjalanan."

Sita mengangguk, sebelum menutup pintu, wanita yang baru saja menikah tahun lalu tersebut tersenyum lalu berkata, "Pak, teman saya ada yang—"

"Telepon. Bapak. Sekarang."

Tiga kata itu cukup untuk membuat Sita tersenyum geli lalu menutup pintu tanpa suara.

***

"Kok Ayah nggak nelpon Yudhit langsung?"

"Sudah. Ayah sampe wasap berkali-kali. Nggak kamu baca, Mas."

Yudhit menampilkan senyum bersalahnya. "Maaf, Yah, barusan dinyalain handphone-nya."

"Ayo, tadi sudah ditelpon Dokter Wildan," Pak Saka berjalan mendahului anak sulungnya menuju lift. Lift tersebut hanya diisi oleh Yudhit dan ayahnya. Baru saja menekan tombol untuk menutup pintu lift, seseorang menekan tombol di depan, membuat pintu lift urung tertutup.

"Maaf," seorang dokter wanita melangkah masuk. Rambutnya yang diikat kuda bergoyang lembut ketika ia menunduk meminta maaf.

"Nggak papa, santai saja." Yudhit bisa mendengar senyum dalam kalimat ayahnya. Entah karena apa, Yudhit cepat-cepat menekan tombol tutup kembali. Menyebabkan jas dokter tersebut terjepit pintu lift. Wanita tersebut pun panik dan mengeluarkan teriakan tertahan yang membuat Yudhit berjengit. Ia—yang ikut panik—segera menekan tombol buka.

05:05Where stories live. Discover now