Bab 15 Melamar

Mulai dari awal
                                    

"Dengan semua kecerobohanku, semua pasti tidak mudah. Tapi, mengeluh sekarang bukan pilihan yang tepat," Hammuka mengulum senyum singkat, "jadi, aku akan berusaha memperoleh ijinnya. Apa jawabanku cukup menyenangkanmu?"

Jeya diam. Hanya mata mereka yang saling terpaut. Meski tidak ada kata "ya" atau "tidak", gadis itu tidak meragukan kesungguhan Hammuka. Sama sekali.

***

Setelah bersalaman lalu berbasa-basi sejenak pada orang tua Cici dan dua orang santri yang menunggu, membuat Jeya sadar, pelaku yang sudah memprovokasi emosi Nisma tidak ada di sini. Dia ijin keluar. Di dekat pintu, Hammuka menunggu. Menatapnya ingin tahu. Dia menggeleng pelan.

"Aku harus bertemu Nisma. Dia di mana?" Jeya merasa was-was. Perasaannya benar-benar tidak enak. Entah kenapa.

"Tidak perlu. Nisma aman sekarang. Untuk saat ini, sebaiknya, kamu menjaga ayahmu saja. Oh ya, Jei, menurutmu, kenapa Benny ke rumah sakit ini?"

Mereka berjalan menuju lantai satu, tempat ayah Jeya dirawat.

"Istrinya jatuh dari tangga, terdorong olehnya. Eh, kamu rahasiakan ini, ya. Dia ketahuan menikah lagi, istrinya murka, dan dia tidak sengaja mendorong. Itu yang kuketahui saat menyentuh tangannya tadi." Jeya berbisik, "aku sangat mengerikan, kan? Rahasia yang harus ditutupi mati-matian, bisa tersibak dengan mudah olehku."

"Beruntungnya aku," gumam Hammuka setengah mengejek.

Jeya menoleh. Geram karena wajah pria itu sangat tengil. Mengingatkannya pada wajah Nisma yang pernah menyuruhnya membangunkan Hammuka lalu meloyor ke kamar mandi.

"Hammuka, kamu belum pernah aku tendang, ya? Ingin seperti Daniran?" bibir Jeya mengerucut, mirip pantat ayam setelah mengeluarkan telur.

Hammuka menyilangkan kaki, menghalangi langkah Jeya. Gadis itu terpaksa melangkah menyamping kemudian benar-benar berhenti karena Hammuka tepat di depannya, tidak mau menyingkir walaupun sudah dipelototi.

"Kamu pikir, kenapa lampu digunakan menerangi pada malam hari? Bahkan, hasil statistik kementrian perindustrian menyebutkan bahwa kebutuhan lampu hemat energi mencapai 430 juta per tahun? Belum lampu pijar, lampu halogen dan lainnya."

Jeya mundur pelan, menjaga jarak, "karena malam itu gelap. Mata butuh cahaya agar bisa melihat objek."

"Itu menurut otakmu yang sederhana."

Jeya tersinggung, "lalu bagaimana menurut otak mewahmu?"

"Lampu bisa menunjukkan strata sosial sebuah tempat. Lampu yang digunakan di warteg berbeda dengan lampu yang dipasang di mall. Lampu-lampu itu sejatinya digunakan untuk mengusir gelap, tetapi budaya pop mengubahnya menjadi sedemikian rupa. Menurutku, begitu juga kamu. Tidak ada yang mengerikan dari dirimu, Jei. Apa yang ada dalam dirimu adalah caramu menuju cahaya, menunjukkan setinggi apa spiritualitasmu. Poin penting dalam hidupmu bukan lagi tentang cara-cara manusia hidup dalam modernitas yang serba instan, melainkan cara menggenggam sinar meski terkungkung dalam gelap. Coba pikirkan, kamu punya peluang melihat aib, menyebarluaskannya kemudian tertawa karena melihat pendosa itu malu dan dikucilkan. Tapi, kamu tidak mengambil pilihan itu. Bagiku, itu sudah cukup jelas menggambarkan siapa dirimu. Tujuanmu adalah cahaya, bukan kegelapan."

Jeya terpesona pada penjelasan Hammuka. Selain baik, juga bisa memahaminya. Bahkan pria itu lebih paham tentang dia melebihi siapapun, termasuk dirinya sendiri.

"Ah, kamu mau membuatku semakin jatuh cinta, ya?" Jeya balas menggoda seperti cara Hammuka menggodanya.

"Tidak, aku ingin membuatmu bisa tidur di ranjangku." Hammuka agak mencondongkan tubuh, "tentu saja, setelah menikah."

Kasyaf (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang