Prolog

12.6K 363 7
                                    

"Ma, mbak Lia mau nikah, ya?" Ardila mengaduk - aduk teh dalam cangkirnya lalu menyeruputnya sedikit guna merasakan teh buatannya.

"Iya sayang. Ini undangannya aja udah disebar. Kamu bakalan jadi bridesmaid nantinya." Sang bunda yang sedang berdiri dihadapannya.

Kini mereka berdua sedang berada di bar kecil yang ada di dapur rumah milik keluarganya. Sang bunda yang sedang membuat kopi untuk papanya sedangkan dia duduk asik menikmati secangkir teh buatannya sendiri.

"Yah aku kan nggak ada pasangannya, Ma. Masa iya jadi bridesmaid nggak ada groomsmannya sih, Bun." kata Ardila dengan wajah cemberut.

"Makanya sayang kamu punya pacar dong. Masa udah jadi anak gadis remaja masih aja sendiri. Biasanya anak - anak SMA lagi suka - sukanya jalan sama pacar gitu - gitu, Dil." goda sang bunda. Sang bunda ini memang suka menggoda anak gadisnya itu.

"Nggak mikir kayak gitu dulu, Ma. Mau fokus sekolah dulu."

"That's right."
"Dil, kamu tolong anterin undangan ini kerumah temen bunda, ya."

Sang bunda menyerahkan undangan pernikahan mbak Lia, saudaranya kepada Ardila. Ardila mengernyit kebingungan. Kenapa dia yang disuruh?

"Lah kok aku, Bun? Suruh aja mang Ujang yang nganterin. Males keluar rumah ini, Bun."

"Kamu ini ngeles mulu. Buruan ganti baju, ini alamatnya. Bilang dari bunda gitu nanti juga mereka tau." ujar sang bunda dengan nada memaksa.

Sang bunda menyodorkan selembar kertas kecil yang berisikan alamat rumah yang akan menerima undangan darinya.

"Bunda maksa, ih."

"Uang jajan bunda potong lho, Dil!" ancam sang bunda.

"Iya iya, Bun. Aku ganti baju sekarang."

Ardila berjalan malas menaiki tangga menuju kamarnya. Sebenarnya hari ini ia ingin memanfaatkannya untuk berleha - leha dirumah bersama sang mama dan papanya. Namun apa mau dikata, sang bunda menyuruhnya lebih tepatnya memaksanya mengantarkan undangan pernikahan saudaranya ke rumah teman mamanya.

****

Kini ia berada didepan sebuah rumah besar. Dilihatnya rumah itu yang sangat sepi seperti tidak ada penghuninya. Apa rumah ini kosong, ya? Tapi alamatnya bener kok. Tanyanya dalam hati. Ardila mencoba berjalan menuju arah pos satpam yang tak jauh dari rumah itu berada.

"Permisi pak." sapanya sopan.

"Eh, neng ada apa?"

Pak satpam yang awalnya sedang duduk membaca koran kini langsung berdiri setelah ia mendengar suara Ardila.

"Saya mau tanya. Rumah yang catnya warna putih itu kok sepi ya pak? Apa penghuninya pindah atau gimana ya pak?"

Ardila menunjuk kearah rumah yang sangat besar, rumah yang tadi ia sambangi sebelum ia menemui pak satpam namun terlihat sangat sepi.

"Oh rumah itu. Rumahnya emang lagi sepi, neng, soalnya penghuninya lagi pada pergi. Barusan atuh perginya. Biasanya ada bi Inah, pembatu rumah itu diluar lagi nyapu atau menyiram bunga. Emang tadi beneran nggak ada orang, ya, Neng?"

"Nggak ada, pak. Sepi banget rumahnya. Saya takutnya kalau saya salah alamat."

"Coba liat alamatnya neng."

Ardila menyodorkan secarik kertas tulisan tangan sang mama berisikan alamat rumah itu ke pak satpam. Pak satpam itu membacanya dengan teliti dan seksama.

"Ini bener kok neng. Rumah itu. Coba deh neng cek kesana lagi, siapa tau bi Inah lagi nyapu atau menyiram bunga."

"Oh yasudah, pak. Makasih banyak ya pak."

Berbekal informasi dari seorang satpam yang ada di pos tadi, Ardila kembali berjalan kerumah itu. Dan benar saja, terlihat seorang wanita paruh baya yang sedang menyiram bunga. Ardila melebarkan langkahnya, ia ingin segera selesai dan pulang.

"Permisi, bi. Benar ini dengan bi Inah?"

"Eh, iya saya sendiri. Ada apa, ya?" jawab seorang wanita yang bernama bi Inah.

"Ini bi ada undangan untuk majikan bibi. Tolong sampaikan, ya. Bilang saja dari ibu Hartini."

Ardila menyerahkan undangan itu.

"Oh ya ya. Nanti jika beliau sudah pulang, akan saya sampaikan."

"Terima kasih, bi. Saya pulang dulu. Mari." pamitnya dengan diiringi senyuman manis miliknya.

"Mari, Neng."

Manis pisan neng itu. Cantik.

Dikemudikannya mobilnya memecah kemacetan hari ini. Tidak untuk pulang, ia ingin mampir sebentar di mall hanya sekedar mendinginkan badan dan cuci mata. Atau bahkan hanya untuk nongki - nongki asik di Cafe langganannya.

Mumpung lagi keluar mampir bentar juga boleh lah ya.

Tangan kiri Ardila sibuk memilih lagu yang pas untuk siang hari ini. Jemarinya berhenti saat lagu milik penyanyi berkebangsaan Amerika Serikat, Meghan Trainor yang berjudul Dear Future Husband.

Dear future husband
If you wanna get that special lovin
Tell me I'm beautiful each and every night

Ardila bernyanyi riang sepanjang jalan hanya untuk memecah keheningan yang terjadi didalam mobil hingga tak terasa ia sudah sampai di tempat tujuan.

Saat ia sedang berjalan menuju Cafe langganannya, tiba - tiba ia terhempas kebelakang begitu saja. Ia mengaduh kesakitan. Bagaimana tidak, seorang laki - laki bertubuh tegap dihadapannya ini yang menabraknya. Minuman yang dibawa laki - laki itu tumpah membasahi baju yang laki - laki itu pakai siang ini.

"Aaahhhh, l-loo udah bikin baju gue basah." gertak laki - laki itu.

Laki - laki berbadan tegap dengan baju kaos polo dan celana pendek itu membuat Ardila terdiam sesaat.

Wow..

"Aduh maaf, ya, Mas. Saya ng-nggak tau, Mas."

Laki - laki itu masih menggerutu mengucapkan banyak sumpah serapah yang hanya bisa didengar oleh Ardila tanpa bisa ia sanggah satupun. Ardila mencoba untuk berdiri dan membersihkan celananya yang sedikit kotor akibat jatuh tadi.

"Kalo jalan pakai mata, dong! Lo merem kali pas jalan." kata laki - laki itu sambil menunjuk bola mata miliknya.

"Nggak, Mas. Mata saya nggak merem pas jalan. Kalo mata saya merem pas jalan terus nanti saya jalannya gimana , dong? Masnya ada - ada aja, deh." ujar Ardila polos.

Bukannya apa - apa tapi laki - laki itu terlihat tambah kesal dan mungkin darahnya sudah mendidih 100°C.

"Lo ini!l" geramnya.
"Lo harus tanggung jawab sama baju gue. Lo bikin hari gue rusak." laki - laki itu menunjuk kearah Ardila.

Ardila seketika menjadi kaku. Laki - laki itu berhasil membuat Ardila menjadi patung hanya bisa diam ditempat setelah mendengar ucapannya tadi. Dengan segenap nyali yang ia punya ia menyodorkan sesuatu.

"Ini sapu tangan buat, Mas, buat ngebersihin baju, Mas."

"Udah lah gue mau pergi. Ribet omongan sama, lo! Jangan harap kita bakal ketemu lagi."

Tanpa babibu lagi laki - laki itu langsung menyambar sapu tangan yang diulurkan oleh Ardila tadi.

Laki - laki itu langsung melenggang pergi begitu saja. Ardila masih terdiam ditempatnya berdiri. Ia belum melanjutkan langkah kakinya menuji Cafe langganannya yang sempat menjadi tujuannya datang ketempat ini.

Orang yang salah lo sendiri. Makanya jalan pakai mata, Mas. Jangan pake dengkul. Eh tapi kenapa gue tadi minta maaf ke dia, ya? Kan harusnya dia yang minta maaf ke gue. Aaaaa lo!! Rutuknya dalam hati.

🔹Love, Nadyattin.

Perfect WifeWhere stories live. Discover now