Mulanya

20.3K 1K 34
                                    

Pada suatu siang di kota kembang

Angkot oren yang catnya masih tampak baru itu melaju tersendat-sendat. Bukan karena macet, tapi karena sang supir masih menanti angkutan yang dikemudikannya penuh. Jika tak ingin dipecat, setoran ke bos harus lancar hari ini.

"Geura deur ah jang, panas yeuh*." Pinta seorang bapak-bapak dengan asap rokok yang mengepul dari bibir kehitaman miliknya.

(*cepat jalan nak, panas nih.)

Uhuk uhuk

Seorang gadis remaja terbatuk karena asap rokok itu. Sha nama gadis itu mengibaskan topi yang terbuat dari koran untuk menghalau asapnya. Selanjutnya tas yang terbuat dari karung terigu dia gunakan untuk menutup hidungnya. Berguna juga peralatan ospek yang dibuat bu Rumi untuknya.

'Ow yeah, asap rokok bapak tuh yang bikin panas.' Batin Sha.

"Angkot nu sanes mah tos nepi deui, Jang*." Seorang ibu menimpali, kali ini dengan tutur yang lebih santun.

(*Angkot yang lain sudah nyampe lagi nak.)

Sang supir hanya melirik sekilas ke spion tengah, memperlihatkan tiga penumpang yang menekuk wajah mereka. Hanya ada tiga penumpang di angkot itu. Untuk menunggu penumpang penuh rasanya mustahil, karena siang itu bukan jam padat penumpang. Sepertinya tiga penumpang angkot itu harus pasrah dengan keputusan sang supir yang tetap melajukan angkot dengan perlahan.

Lalu sebuah nada dering polyphonic--khas sebuah merk ponsel yang sedang merajai angka penjualan ponsel pada masanya--terdengar dari tas karung terigu milik Sha. Gadis remaja itu mengeluarkan ponsel yang saat itu masih tergolong barang mewah.

1 pesan masuk.

Dipijitnya keypad yang menyala ketika ponsel itu dioperasikan.

Membuka pesan.

Amih geulis
'Sha, Amih ga bisa jemput. Kamu pulang naik taxi aja yah.'

Tak lama terdengar kembali nada dering polyphonic dari ponsel itu.

2 pesan masuk.

Membuka pesan.

Apih kasep
'Sha, tadi amih telpon ga bisa jemput. Apih juga ga bisa jemput, kamu naik taxi aja yah.'

Kompak sekali nyuruh naik taxi. Telat oi amih, apih. Teriak batin Sha.

Membuka pesan.

Bu Rumi caem
'Sakinah! Tos dimana*? Terongnya udah dingin ini. Teri-nya juga udah sampe babak perempatan final ini, bola-nya dah kempes bentar lagi.*'

(*Sakinah! Sudah dimana?)

Sha tersenyum. Balado terong dan teri main bola aka orek teri adalah makanan favoritnya. Apalagi bikinan bu Rumi yang tiada bandingannya. Lelah menahan emosi ketika ospek tadi, sepertinya akan terbayar dengan makanan enak setibanya di rumah nanti. Diketikkannya balasan pada tiga pesan tadi.

Reply to Amih geulis.
'Siap nyonyahhh.'

Reply to Apih kasep.
'Siaapp komandan.'

Reply to Bu Rumi caem.
'Balado terong! teri main bola! aym kaming. Perempatan final? perempatan ciamis kaleee.'

Sha terkikik geli. Bicara dengan bu Rumi selalu jadi hiburan tersendiri baginya. Sepertinya keputusannya untuk membelikan bu Rumi ponsel yang sama seperti miliknya adalah tepat. Dengan uang yang diberikan ayahnya seharusnya dia bisa membeli ponsel yang lebih mahal. Tapi dia memilih membeli dua ponsel dengan harga lebih murah. Satu untuknya, satu untuk bu Rumi.

Selesai mengirimkan pesan balasan, Sha memasukkan ponselnya. Saking asyiknya berkutat dengan ponsel, Sha baru tersadar sudah ada empat penumpang di angkot itu.

Ibu-ibu yang semula ada di hadapannya telah bergeser ke dekat pintu. Kini di hadapannya, seorang pemuda kerempeng bertato tengah tersenyum padanya. Sesekali pemuda itu melihat kebawah, lalu tersenyum lagi. Senyum geli, senyum mencemooh, atau senyum melecehkan? Entahlah Sha tak paham. Yang jelas alarm berbahaya di dirinya menyala. Sha waspada.

Sha rapatkan kakinya,lalu dia benahi seragam rok sepan panjang berwarna biru tua yang dia kenakan. Dan perlahan Sha memutar tubuhnya jadi menyerong ke kanan, tak ingin berhadap-hadapan dengan pemuda yang berpenampilan urakan itu. Dengan badan bertato di beberapa bagian, pemuda itu lebih tepat jika disebut 'PREMAN'.

Sha melirik ke arah kiri, tepatnya ke arah pemuda itu. Senyum tertahan pemuda itu memperlihatkan lesung pipinya. Kulitnya yang kecoklatan dan bau matahari yang tercium membuat Sha tak ingin berlama-lama menatapnya. Sha merasa ngeri.

Kembali pada angkot oren yang mereka tumpangi. Setelah lampu merah, angkot tersebut agak mempercepat lajunya. Tapi kembali berjalan perlahan menjelang halte. Keempat penumpang hanya bisa mendesah kecewa dan bosan.

-
-

"Bu Ruuummiii," teriak Sha berlebihan.

Setibanya di rumah Sha menghempaskan tubuhnya ke atas sofa marun di ruang tamu. Dengan tugas ospek yang macam-macam dan harus menghadapi kakak kelas yang 'sok senior', Sha merasa lelah. Belum lagi sepanjang perjalanan yang panas. Sha harus berjibaku dengan asap kendaraan dan asap rokok. Juga bertemu preman kerempeng itu.

Seorang wanita paruh baya berlari kecil menghampiri Sha. "Haduhhh, Sakinah udah datang," teriak bu Rumi juga berlebihan. "Sendirian? Kirain dijemput amih, pantesan lama."

Sha mengerucutkan bibirnya ketika mendengar panggilan bu Rumi padanya. Dia tak suka dipanggil Sakinah. Tapi bu Rumi tetap saja memanggil namanya dengan sakinah. "Si Amih seperti biasa, sibuk sama kerjaannya," jawab Sha cuek.

Bu Rumi tersenyum maklum. "Gih, ganti baju trus makan. Nasi sama lauknya sudah ada di meja makan. Ibu mau sms-an sama si akang dulu ya." Dan bu Rum-pun berlalu ke dapur.

"Deuh yang sedang diterjang badai rindu, makanya si akang-nya suruh pindah kesini," ledek Sha setengah berteriak pada bu Rum. Si akang yang dimaksud adalah suami bu Rum di kampung. Empang dan ternak ayamnya yang butuh dikelola membuat suami bu Rum tak bisa mengikuti bu Rum bekerja di rumah Rustam Anwar--ayah Sha.

Sha masih malas beranjak. Ruang tamu yang adem sungguh membuatnya lembam. Tepat di hadapannya terdapat cermin besar, memantulkan hiasan guci dan kristal--berbagai model dan ukuran--di ruang tamu. Cermin itu juga memantulkan sosok Sha yang duduk di atas sofa.

Menyadari bayangannya di cermin, Sha terbelalak dan mengerjab tak percaya. Dengan posisi duduk seperti di angkot tadi, kaos kaki tebal yang dipakainya tak sempurna menutup setengah betisnya. Rok seragam SMP yang mulai ngatung pun tak sempurna menutup sampai mata kaki. Alhasil kulit kakinya terlihat. Pantas saja preman tadi senyam senyum sambil melihat ke bawah.

'Arrghhh'

Sha mengerang kesal, sempurna lah ke-bete-an Sha hari ini.

*****

AN. Ada yang bisa nebak ini spin off dari cerita mana?

Maaf typonya.

'Va'

Menanti Sakinah [Pindah Ke Cabaca]Where stories live. Discover now