Harga Kebahagiaan

5.6K 1.1K 229
                                    

[ Cerpen : 1959 Kata ]

"MAMA mau cerai."

Aku terkesiap. Meskipun di matanya, mungkin aku hanya tengah memasang wajah datar seperti sebelum-sebelumnya.

Perlahan, aku menurunkan headphone murah yang dibeli ayahku di toko aksesori saat aku tidak sengaja menemukan benda ini dan menarik napas panjang.

Sejujurnya, aku pun tidak tahu apa yang harus kulakukan dan kukatakan. Namun, aku tetap berusaha mengeluarkan sedikit kata-kata.

"O-oh, ya udah, kalo Mama lebih ... bahagia gitu, terserah Mama aja," ujarku sambil menatap apapun selain mata Ibuku. Dari sudut mata, aku bisa melihatnya terlihat tidak puas dengan jawabanku sehingga aku cepat-cepat menambahkan.

"Maksudku yah, kan aku juga bentar lagi kuliah di luar kota, 2 tahun lagi, setelah itu aku akan hidup mandiri kan? Tenang aja, Ma, aku udah gede," tuturku pada akhirnya setelah menyelipkan seulas senyum.

Ia terlihat tersenyum lega. "Bagus deh, Mama kira kamu nggak akan setuju...," katanya sambil menerawang menatap kaca mobil kami yang tengah parkir.

"Nggak papa asal Mama seneng, ayo katanya mau nonton?" Aku membuka pintu mobil dan melompat turun.

Aku jelas tahu mengapa Ibuku lebih memilih mengutarakan hal tersebut di saat kami akan jalan-jalan berdua saja di akhir minggu seperti biasanya, dia tidak ingin Ayahku mendengar hal ini lebih dulu.

Hubungan orangtuaku memang agak kurang normal dibandingkan pada keluarga pada umumnya. Seolah-olah ... keluarga hanyalah status belaka.

Ibuku bekerja dan punya pendapat sendiri, ia juga terbiasa mandiri sejak merantau ke Ibukota yang keras ini, sehingga Ibuku tidak pernah sekalipun meminta uang keperluan sehari-hari pada Ayahku selama 20 tahun mereka berumahtangga.

Ayahku juga bekerja dan menurut Ibuku, Ayah memang tidak pernah memberikan uang keperluan sehari-hari padanya, padahal menurut Agama kami, seharusnya setidaknya Ayah memahami gaji ibuku yang tidak seberapa dibandingkannya dan memberi uang bulanan meskipun tidak diminta.

Aku juga tahu kalau Ibuku sudah lelah menghadapi perangai Ayahku yang masa bodoh dengan kami berdua, minus Kakakku yang sudah bekerja dan berkeluarga sendiri. Jadi, aku tidak punya alasan yang cukup baik untuk mempertahankan hubungan mereka.

Namun entah mengapa, aku bisa merasakan di sudut hatiku, terdapat sebuah lubang bernama kehampaan yang kian lama kian membesar seiring hari perpisahan mereka berdua mendekat.

*

Aku tahu kalau aku spesial. Tidak, aku tidak menyombongkan diri ataupun mengada-ngada. Lagipula, hal spesial yang kumaksud agak kurang dapat dipercayai orang lain.

Aku bisa mengintip masa depan orang lain beserta secuil kehidupan mereka. Dan lagi, aku juga bisa berbicara dengan makhluk astral.

Selama 16 tahun hidup di dunia, hanya aku dan almarhum nenekku yang mengetahui hal ini. Nenekku pernah berkata kalau mungkin ini kelebihan yang diturunkannya untukku.

Lagipula, aku salah satu tipe anak yang akan diam saja dan tidak mengadu pada orangtua ketika ada anak berandal menggangguku. Aku lebih kuat dari itu.

Hanya satu hal yang bisa menggoyahkanku: mengetahui kalau sekarang orangtuaku telah berpisah.

"Oh ya, Om Rendra mau ngobrol sama kamu di bawah, turun ya sayang," ucapan Ibuku membuatku tersadar dari lamunanku yang tengah menatap sesosok makhluk di pojok kamar yang sudah lama berada di sana. Ah, dia salah satu temanku untuk mengobrol ketika tidak bisa tidur, meninggal karena kecelakaan di jalan depan rumahku. Namanya Riska.

Harga Kebahagiaan [10/10 END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang