Meja kerja Ellen ada di sudut ruangan, menghadap ke tembok. Sebuah monitor lengkap dengan keyboard dan mouse ada di hadapannya. Di dalam laci, ada satu laptop ukuran 10 inchi untuk keadaan darurat, dalam rangka numpang mencari sinyal ke kantor sebelah misalnya. Selain itu tidak ada printer, kertas, atau pulpen untuk mencatat. Atau sekadar pajangan sekalipun, tidak ada. Ellen menyandarkan tas ranselnya di bawah meja. Mejanya benar benar rapi. Dan misterius.
"Sstt... Bu Siska nggak adil. Masak Ellen dikasih rekan kerja. Memang apa pekerjaan Ellen selama ini? Dia cuma tidur tiduran saja di meja. Coba Satya gabung sama kita, pasti aku bakal lebih semangat," desis Rosi sambil terus menempelkan manik manik burci pada kain brokat berwarna hitam.
"Aku sih berharap jadi Ellen. Bisa duduk manis di situ sambil menatap wajah Satya," Mila yang diajak bicara malah asyik berkhayal. Tiga butir kristal swarowski jatuh menggelinding.
"Pssst... Psssttt... Hati hati Mil! Nanti kita kena lagi!" gerutu Rosi sambil mengejar kristal kristal itu.
Ellen mendengus pelan. Dia selalu mendengar pembicaraan dua rekannya itu. Tetapi telinganya sudah terbiasa. Setidaknya dia tidak perlu menoleh dan ikut berbincang dengan mereka. Meja kerja yang menghadap ke tembok adalah blessing in disguise baginya.
Satu-satunya hal yang mengusik Ellen saat ini adalah kehadiran Satya. Benar bahwa Ellen berdoa untuk kehadiran karyawan baru. Tetapi maksud hatinya adalah karyawan yang bisa menghadirkan sinyal untuknya. Semacam petugas Telkom atau semacamnya. Bukan anggota boyband yang ceriwis.
"Mbak, geser lah."
Satya menggeser kursi dan meletakkannya di samping kursi Ellen. Kursi kayu berat tanpa alas empuk, persis seperti yang setiap hari diduduki Ellen.
Tanpa berkata apapun, Ellen segera menggeser kursinya. Meja kerjanya memang begitu luas dan kosong. Kehadiran Satya tidak membuatnya jadi sempit.
"Oke, Mbak. Sekarang tugasku apa?" Satya menggosok gosokkan tangan, melipat lengan.
Ellen terkejut dengan pertanyaan itu.
"Bu Siska tidak bilang tugasmu apa?" Ellen balik bertanya.
"Bilang sih. Dia bilangnya kek gini, tugasmu membantu mbak yang duduk di depan komputer. Duduklah di sampingnya, bantu dia. Jadi, di sini yang duduk di depan komputer kan cuma mbak, jadi mbak butuh bantuan apa?" Satya berkedip kedip.
Ellen menatap layar komputer yang belum menyala. Bahkan Ellen tidak tahu apa yang harus dia kerjakan sekarang. Pekerjaannya sudah beres.
"Pekerjaannya sudah beres..." bisik Ellen.
"Igh, setiap kali ditanya lagi ngerjain apa dia selalu jawab pekerjaan sudah beres. Sekarang dia dikasih rekan kerja bukannya bersyukur malah jawab kayak gitu juga. Sombong!" desis Rosi.
Satya menoleh pada Rosi. Membuat Rosi segera menunduk dan berpura pura mencari kristal biru di antara sekotak kristal ungu. Ellen tetap diam dan menunduk. Satya menyikut lengan Ellen.
"Digituin kok diam aja, sih?"
Ellen makin menunduk. Dia mengosongkan hatinya dari rasa apapun. Melihatnya Satya jadi menghela napas.
"Terus, kalau pekerjaan mbak udah selesai, apa yang biasanya mbak lakukan?"
Ellen melirik Satya sambil menggigit bibirnya. Dia tersenyum.
"Nggak ada"
Kali ini wajah Ellen jadi lebih ramah.
"Wah, asyik!"
Satya melonjak senang. Dia mengorek isi tasnya dan mengeluarkan handphone. Semangat sekali dia mengelus elus layar sentuhnya. Tetapi tidak lama kemudian wajah tampannya itu berubah keruh.
"Mbak, pakai kartu apa?"
"Queen"
"Ada sinyal?"
Ellen menggeleng.
"Walah, harusnya aku pakai kartu Five tadi"
"Five juga ga bisa. Triple S. Trapessium. Juga Woisy."
Satya mendelik.
"You mean... Di sini blank spot?" Satya memegang pipinya sambil mendelik.
Ellen ndelosor di atas meja.
"Tiduran aja. Sampai pekerjaan baru datang"
Satya melongo.
Bersambung
YOU ARE READING
There's Something Wrong in the Office
Romancecerita tentang Ellen, fresh graduate yang terdampar di sebuah butik tanpa sinyal. sialnya, doa Ellen selalu dikabulkan. Dan Ellen pun harus berjibaku dengan berbagai konsekuensi yang harus ia lalui akibat do a doanya. Hak cipta dilindungi Undang-Un...
