Semestinya, aku bisa tetap belajar jika Ribka dan Anik tidak mengoceh di depanku. Entah apa yang mereka bahas. Aku jadi menutup bukuku dan berniat untuk membeli minuman atau beberapa cemilan di kantin, saat akan berdiri, tiba-tiba saja mataku tertuju pada sosok cowok yang baru keluar dari kelas koridor IPA yang memang berhadapan dengan koridor IPS.

Aku bisa dengan jelas melihat seorang cowok yang sedang memegang buku agenda biru yang terasa begitu familiar. Otakku dengan cepat mengingat kejadian semalam. Lebih tepatnya saat aku melupakan untuk memberi lembaran dari puisinya.

Entah apa yang menggerakkan langkahku begitu cepat melesat keluar kelas hanya untuk mengejar seorang Ara Pahlevi. Aku bahkan tak pernah mengejar Albi selama kami pacaran dulu.

"Ara! Tunggu!" Kakiku melangkah lebih cepat untuk mengejar punggungnya.

Cowok itu mendengarku, tapi dia terus berjalan. Anehnya, dia makin mempercepat langkhanya. Kesal karena merasa diabaikan. Aku berlari hingga tanganku spontan menyentuh punggungnya.

"Jangan sentuh!" bentak Ara serentak dengan berbaliknya tubuh tinggi cowok itu. Sebuah tatapan setajam elang langsung menyambutku.

Aku tersentak bercampur malu. "Eh, sorry."

"Ada apa? Kenapa kamu mengikuti saya?" tanyanya tampak begitu dingin.

Bukannya menjawab, aku justru larut dalam keheranannku.

Besok saat di sekolah, jangan kaget.

Kalimat itu kembali menggema di telingaku. Nyatanya. Sekarang aku kaget.

"Saya bukan lukisan yang bisa dipandangi seenaknya," ucapnya tampak begitu ketus.

Aku mengerutkan kening, heran dengan sikap cowok ini. Lama-lama aku kesal juga, dan memilih untuk merogoh saku seragamku lalu meremas kertas puisi miliknya, lalu spontan saja kulemparkan remasan itu ke dadanya. "Lain kali nggak usah kepedean!" Aku langsung berbalik setengahnya, melangkah dengan diiringi umpatan.

Belum sampai langkah ke-lima, aku mendengar sebuah langkah yang mengikuti di belakang, disertai dengan sebuah suara. "Luna."

Bodohnya aku berbalik. Napasku naik turun. Dia tampan dengan kacamata yang bertengger pada wajahnya, tampak begitu smart, tapi sayangnya, aku sedang kesal padanya.

"Apa?"

Cowok itu menghela napas, mencoba untuk tetap tenang. Wajahnya tampak datar, dia menatapku selama beberapa detik sebelum akhirnya berkata. "Apa kamu kaget?" tanyanya dengan suara rendah. Aku tenggelam dalam kebingungan. Aku tak tahu harus menjawab apa, dia memang seperti manusia aneh yang punya dua sifat berbeda. Aku hanya menatapnya sembari menaikan kedua bahu samar. Ara membuang napas lagi, lalu berucap. "Sebaiknya kamu tidak mendekati saya saat siang hari," ucapnya dengan nada datar namun mengandung peringatan.

"What?" Siapa juga yang mau mendekatinya?

"Jadi, bisakah kamu menjauhi saya saat siang hari?"

"Kamu kok aneh, sih?"

"Maka dari itu, jangan pernah mendekat."

Dan, aku tidak bisa menjawab lagi karena Ara sudah dengan cepat membalik tubuhnya dan berjalan dengan langkah cepat. Menghilang dibalik kerumunan orang-orang. Sementara aku di sini, terdiam. Bingung akan sifatnya.

Sebenarnya? Siapa yang gila?

*****

"Pulang bareng?"

Kali ini aku terkejut sepenuhnya. Mataku melotot. Ingin rasanya aku mencubit pipiku sendiri untuk sekedar memastikan bahwa ini bukan mimpi. Bayangkan saja, aku baru lima detik keluar dari kelas dan Albi sudah tiba-tiba saja berdiri di depanku. Seperti de-javu, saat kami berparacan, ini mungkin merupakan hal yang bisa membuat pipiku memerah. Tapi, sekarang? Entah kemana menguapnya perasaan itu, mungkin sudah habis terkisis atas kekecewaanku padanya.

SOUTHERN ECLIPSEWhere stories live. Discover now