Satu

110 15 19
                                    

A story by Minlee

(not) a fairytale

Ini mungkin sudah malam ke tiga ratus empat puluh lima mereka bertemu di tempat dan waktu yang sama. Bahkan tak tahu takdir yang seperti apa yang membuat suasana selama malam-malam yang mereka jalani tetaplah sama. Entah dari sisi orangnya, apa yang mereka lakukan, atau bahkan jumlahnya sekalipun.

Malam itu...

Tepat pukul 7 lewat 35 menit, dua insan itu duduk disana. Dihadapan hamparan bukit hijau yang berubah warna menjadi abu-abu sebab gelapnya malam. Diiringi suara aliran sungai yang bermuara sepanjang jalan, juga riuh ramainya orang-orang disekitar mereka.

Seperti biasanya, didepan mereka ada tiga orang yang mungkin bersahabat, sedang bergurau dengan posisi duduk yang selalu sama. Seorang gadis yang duduk diantar kedua teman laki-laki di kanan-kirinya. Entaha bagaimana itu bermula, yang pasti mereka selalu duduk disana, berkumpul bersama menceritakan sesuatu yang menarik.

Lalu tak jauh dari sana, ada dua anak kecil yang suka bermain dengan gelembung. Oh, untuk yang ini, mereka adalah sepasang saudara. Melihat dari cara mereka berinteraksi dengan panggilan "Kak!" dari salah satu anak-anak itu. Agak aneh memang melihat kedua bersaudara itu bermain gelembung saat malam hari –meski lampu disekitar tempat mereka cukup terang, namun setiap malam mereka selalu ada disana dan melakukan itu. Orang tua mereka tentu saja duduk tak jauh dari sana, tersenyum melihat buah hati mereka bahagia. Sungguh sebuah potret keluarga yang menyenangkan.

Lalu ada orang lain lagi yang selalu datang di tempat dan waktu yang sama dengan kedua insan ini. Ia adalah seorang gadis dengan penampilannya yang bisa dibilang cukup menarik perhatian. Selalu duduk dengan radius 25 meter dari mereka dengan satu headphone cantik yang terpasang di telinganya. Gadis itu terlihat menikmati setiap detik yang ia lalui dengan musik yang mengalun, ditambah angin malam yang semilir-semilir menyibakkan helaian rambutnya. Percayalah, bahwa setiap orang terutama lelaki begitu kagum dengan sosoknya.

Satu lagi. Ada empat orang pemuda yang selalu duduk melingkar disana. Anggaplah sebuah temuan rutin setiap malam sebab mereka jarang bertem dan saat itu merupakan waktu yang tepat untuk bersua bagi mereka. Pertemanan yang indah.

Begitulah keadaannya. Selalu sama di setiap malam tanpa terkecuali. Bersamaan dengan itu semua, kedua insan ini berada disana. Membuat moment yang menyenangkan setiap detiknya meski setiap hari mereka mendapat suatu hal yang berat. Masalah yang sejujurnya mereka sendiri tidak tahu bagaimana bisa bermula. Satu-satunya jalan untuk membuat semuanya kembali baik tanpa permasalahan adalah tidak kembali ke tempat ini, tidak datang pada waktu ini, dan tidak bertem lagi.

"Bahkan jika kau memohon, aku tidak akan mau."

"Tapi ini demi kebaikan kita."

"Kebaikan katamu? Untuk kita?" suara si gadis meninggi. Membuat amarah pada batinnya sedikit demi sedikit membara.

"Maksudku... aku hanya tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu."

"Coba kau pikir ulang kata-katamu!" lanjut si gadis tanpa memedulikan pembelaan sang lelaki.

"Lalu apa? Aku harus melakukan apa untuk dirimu?"

"Ya Tuhan, mengapa suaramu terdengar speerti orang putus asa?"

"Aku sudah berjuang sejauh ini untukmu..." nada bicara sang lelaki makin lirih. Terlihat bahwa dia sudah mengalah dengan kenyataan.

"Aku tahu. Aku menghargai itu, tentu saja." Si gadis menyahut sepersekian detik. Bersamaan dengan tatapan matanya yang meyakinkan hati sang lelaki tapi juga sedikit menyayat batinnya.

(not) a FAIRYTALEWhere stories live. Discover now