Hari ke-3 [Bagian A]

69 0 0
                                    

"Itu gak seperti yang lo pikirin kok," ucap seorang laki-laki yang tadi pagi menyapa Mega—tepatnya saat ia sedang mengumpat. Lelaki itu kemudian duduk persis di seberang meja Mega. Mega hanya meliriknya belaka, lalu mendengus pelan.

Fokusnya kembali pada kertas yang ia coret asal di mejanya. "Kalo lo ke sini cuma buat ngejek gue, percuma. Lagi gak mood gue." Mega kemudian mengibas-ibaskan tangan kanannya. Artinya mega mengusir Advent. Ia hanya ingin sendiri sekarang. Sendiri dalam kebimbangannya. Sendiri dalam menyemangati dirinya sendiri.

"Meg," ucap Advent yang kemudian diabaikan begitu saja oleh Mega. "Mega." Advent memanggil sekali lagi. Kali ini dengan volume yang sedikit lebih keras.

Mega terusik. Ia menghentakkan pulpen yang tadi dibuatnya mencoret-coret kertas. Seketika berkata, "Lo gak tau apapun tentang cewek, Vent." Matanya kini memandang lurus ke arah mata Advent yang masih membulat karena kaget dengan hentakan pulpen Mega. Tapi bagaimanapun juga ia harusnya senang karena berhasil menarik perhatian Mega. "Apalagi perasaan cewek. Gak. Lo gak ngerti."

Advent tertawa kecil. Ia menyeringai sesaat. "Lo bilang gue gak tau perasaan cewek? Lo salah."

Mega hanya meggeleng-geleng pelan kepalanya. "Udah lah. Percuma." Ia kira akan sia-sia saja jika dirinya masih berada di sana. Toh Advent tak akan mengerti perasaanya. Atau bahkan bisa menghilangkan kegundahannya. Mega memilih pergi. Pergi ke suatu tempat yang menurutnya nyaman untuk kembali menyendiri.

Mega berdiri dan berjalan meninggalkan Advent.

"Cewek itu lemah," advent membalikkan badannnya ke arah Mega yang berusaha menjauhi dirinya, "Gue salah, ... Mega?" Mega berhenti. Ada sesuatu yang membuatnya berhenti. Sesuatu yang membuatnya ingin mendengarkan lagi kata-kata apa yang akan keluar kemudian dari Advent. Advent tersenyum. "Bahkan kucing belaka dapat membuat matanya berbinar-binar. Apalagi seoarang manusia. Entah benar atau salah, hanya ada satu kata dalam kamus para wanita. Cinta. Sekesal dan sebenci apapun pada seorang lelaki. Toh ujungnya berakhir dengan kata cinta. Benar, 'kan?"

"Nggak. Lo sa—"

"Apalagi kalau wanita diperlakukan dengan baik. Yup. Itu fakta dari romansa-romansa masa muda."

"Beberapa bener," Mega kembali melangkahkan kakinya perlahan, "Tapi beberapa juga salah."


--HARI 3--

"Jadi buat tugas pertemuan depan, Ibu bagi jadi beberapa kelompok ya." Wanita pengajar biologi itu berbicara di sesi-sesi akhir pengajarannya. Ia kemudian memencet salah satu tombol pada keyboard laptopnya, yang mana membuat tampilan slide yang ada pada layar berubah. "Nah karena ibu baik. Ini sudah ibu bagikan kelompoknya ya."

"Yaahhh."

"Oke, Bu."

"Yeayy."

Banyak tanggapan yang diberikan dari siswa siswi di kelas itu. Dari mulai yang diam saja, teriak-teriak, sampai si pintar yang kemudian langsung mencatatnya atau sekedar mendokumentasikannya lewat ponsel mereka. Tanggapan dan reaksi yang berbeda, termasuk si Ega, Mega, dan kedua perempuan temannya—Dea dan Lita. Mereka berempat satu kelompok, ditambah satu lelaki teman kelas mereka, Rais.

Kelas kemudian semakin riuh seketika wantia pengajar tadi keluar dari ruang kelas. Siswa siswi berhamburan keluar, ada pula di dalam kelas yang hanya sekadar kembali menyambung percakapan mereka yang sempat terpotong karena pelajaran biologi tadi.

+++

Di sini lah Mega, di perjalanan menuju rumah Dea untuk kerja kelompok tugas biologi yang diberikan pagi tadi. Ah persetan dengan tugas-tugas itu, membuat waktu luang Mega untuk sekedar melepas penat itu berkurang. Ditambah lagi ia masih dibingungkan antara harus bersyukur bisa satu kelompok dengan Ega, atau malah merutuki mengingat jawaban atas pertanyaan kemarin masih ambigu. Sudahlah. Mega tak mau berpikir terlalu banyak dan jauh. Ia ingin menikmati hari-hari mudanya, menikmati langit sore ini yang merah keemasan, menikmati kawanan burung bangau yang melintas di atas kepalanya, menikmati sepoi angin yang membelai seluruh tubuhnya.

Tebak-tebakan CintaWhere stories live. Discover now