Hari Ke-2

80 0 0
                                    

Advent : cieee [15.42]

Ega : Hah?! [15.43]

Advent mengirim stiker [15.44]

Advent : ngaku aje, lo. Gue liat kok tadi [15.44]

Ega : dih paparazi [15.44]

Ega : siapa to? Mega? [15.44]

Ega : temen aja keles. Jangan cemburu [15.45]

Advent : Heleehh. [15.45]

Advent : Gas lah besok, Ga. [15.45]

Ega mengirim stiker [15.45]

Ega : TOD to? Bukan Mega keles. Haha. [15.45] 

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Lampu-lampu yang berada di ruangan itu belum menunjukan sinarnya, pun matahari sudah sedikit kehilangan keperkasaan cahayanya, membuat ruangan itu semakin gelap saja. Seolah merepresentasikan gelapnya relung hati si empu ruangan itu jua. Orang itu sedang merebahkan dirinya yang memang sudah lelah selepas sekolah di kasur kesayangannya. HP yang tadi dipegangnya kini ia geletakkan di sampingnya ia tiduran. Kedua lengannya ia ulurkan ke arah langit-langit kamarnya, seolah ingin meraih sesuatu. Matanya terlihat menerawang sesuatu. Namun, tak lama ia mendengus kencang dan seketika melempar tangannya ke arah kasur. Aura-aura kekesalan mulai meruak.

+++

--Hari Ke-2--

Suasana pagi memang begitu menyejukkan siapa saja. Setidaknya pagi yang indah bisa menjadi semacam pembangkit semangat atau dopping sementara terutama bagi mereka-mereka yang akan melewati hari yang begitu keras seperti sebelum-sebelumnya. Pagi memang memiliki sihir tersendiri untuk menjadi moodbooster para mahkluk yang menikmati suasananya. Walaupun kadang ada yang merutuki, pun masih banyak yang menganggap pagi itu berkah, pagi yang indah. Dea menganggap pagi ini indah, meski beberapa tumpuk buku yang ukurannya cukup besar sedang ia bawa menuju ruang guru. Setidaknya ingin menganggap hari ini indah. Ia tak mau merutuki awal harinya hanya karena ia harus membawa buku-buku berat itu. Semoga saja ada malaikat kegembiraan yang tiba-tiba menghampiriku dan seketika membuat hariku cerah. Semoga saja. Dea berdoa dalam hatinya.

Hal-hal semacam diundang guru, mengumpulkan tugas ke guru, dan bahkan membawa beberapa buku yang berat untuk guru memang sudah biasa bagi Dea. Dea adalah salah satu siswi yang sangat dipercaya dan disenangi gurunya. Ia penurut dan mau saja diperintah. Contohnya membawakan buku-buku berat ini. Entah berkah atau musibah yang jelas Dea tetap menjalaninya. Berharap jika nilainya jelek, guru yang bersangkutan bisa memberikan ke-subjektif-annya, dan tentu saja itu hal yang tak mungkin.

Dea masih berjalan dengan tenaga mudanya ditambah energi pagi yang ia yakini memberinya kekuatan lebih. Ruang guru masih agak jauh dan ia masih harus membawa beberapa tumpuk buku tebal itu. Perlahan gadis itu mulai melewati lorong-lorong sekolahnya yang masih sepi oleh siswa maupun siswinya, terus berharap pada keajaiban pagi. Alih-alih mendapat keajaiban ia malah mencium bau wangi parfum yang semakin kentara di hidungnya. Namun sepertinya bau itu sudah tak asing lagi merasuk penciumannya. Bau yang maskulin, namun menenangkan. Dea menikmati wangi itu sejenak dan dibuat tersentak karena dua buah tangan tiba-tiba menyerobot paksa buku-buku tebal nan berat itu dari tangan Dea.

Masih dengan keadaan bingung Dea mencoba menggerakkan lehernya pelan dan mengarahkan kepalanya ke arah kepala si pemilik tangan itu. Cahaya matahari yang masih begitu silau sedikit menghalangi pandangan Dea. Gadis itu harus mengerjap beberapa kali untuk melihat dengan jelas wajah dari orang yang memakai parfum yang menenangkan itu.

Tebak-tebakan CintaWhere stories live. Discover now