Hari Ke-1

198 2 7
                                    

--Hari Ke-1--


Sinar mentari pagi yang nampak sedikit menyilaukan itu tak dapat sedikit pun mengubah posisi lelaki itu. Sebagian wajahnya terlihat lebih berkilau karena sinar mentari sedangkan sebagian lainnya tidak. Tangannya ia gunakan untuk menyangga dagu sekaligus kepala lelaki itu. Matanya sesekali mengerjap. Namun pandangannya tak lepas dari arah gadis di depannya, tepat dua bangku di depan tempat ia duduk sekarang ini.

Ega dengan begitu tenang dan fokusnya masih tak bergeming memandangi gadis itu. Gadis yang sedang bercakap ria dengan kawannya. Padahal langit begitu cerah pagi itu, pun cahaya mentari pagi menyengat begitu kentara.

Sesekali senyum simpul Ega terlukis di bibirnya. Menawan.

"Sekarang aja udah." sebuah suara yang sangat amat dikenal Egi menggema kecil. "Ngapain coba nunggu seminggu segala."

Si pembuat suara itu kemudian menaruh sembarang tasnya di atas meja samping Ega, kemudian berlalu.

Bukan kelakuan Advent yang membuat Ega menoleh dan mengernyitkan dahinya, namun perkataan tentang "ngapain nunggu seminggu" itu lah yang membuatnya belingsut. Ya, Ega kemarin berikrar dalam sebuah permainan konyol bahwa dia akan mengungkapkan cintanya seminggu kemudian. Tepat di hari yang sama dan jam yang sama. Namun kini pikiran pemuda dengan iris coklat muda itu sedikit goyah. Benarkah harus menunggu selama seminggu? Lalu apa yang akan terjadi seminggu ini?

Ega menghela nafas berat yang kemudian ia hempaskan punggungnya ke kursi yang sedang ia duduki. Pandangannya kini mengarah ke langit-langit kelas.

•••

Mega membenarkan hijab coklat mudanya yang sedikit longgar. Jari telunjuknya juga ia selipkan ke sela hijabnya guna menyelipkan kembali beberapa surainya yang mencuat keluar. Setelahnya ia kembali bercakap lagi dengan Dea dan Lita.

Mereka berbincang tentang apa saja. Tak jauh-jauh dari gosip tentunya. Mungkin membicarakan orang lain memang sudah menjadi kodrat kaumnya. Atau bahkan sebagian besar manusia. Tak terkecuali laki-laki.

Mega mendengarkan begitu intens. Pun menanggapi semampunya. Namun, pikiran Mega tidak benar-benar berada di sana. Pikirannya sedang melayang ke pujaan hatinya : Ega. Siapa pula yang tidak berdebar hatinya jika dilihat secara intens oleh pemuda rupawan seperti Ega? Apalagi Mega memiliki rasa padanya.

Gue boleh GR gak sih? Hehe perasaan si cogan itu liatin gue terus deh ya. Ululuuu Megaa.

Ekor mata Mega masih lekat memandang malu Ega. Senyumnya lebar, meski yang sedang Ia dan kedua temannya perbincangkan adalah gosip tentang kedukaan. Mega tak peduli. Dia hanya ingin sedikit menyalurkan aura kebahagiaanya kepada seluruh dunia.

"Ga."

Mega mengerjap kecil ketika mendengar seseorang memanggil namanya. Seketika ia putar lehernya pelan ke arah sumber suara tadi. "Apaan, Vent?"

"Nglamun mulu, Lu. Tembak aja udah."

Deg

Perkataan Advent tadi sukses menggetarkan hati Mega. Kaget, bingung, dan sedikit cemas. Mungkinkah Advent tahu kalau sedari tadi Ia memandangi Ega? Atau bahkan tahu kalau dia suka Ega? Mega bertanya dalam getaran hatinya yang berusaha ia kontrol. Bagaimanapun juga manusia sulit meredam emosi yang dapat menggetarkan hatinya.

Hebatnya Mega. Tak butuh waktu yang lama untuknya terpaku. Ia kemudian mengerjap sadar. "Sayangnya gue gak ada airsoftgun kayak punya lo, Vent. Kalo punya mah udah gue tantangin main tembak-tembakan kita," jawab Mega sekenanya.

Tebak-tebakan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang