Ch. 1 - Terjebak Rutinitas

4.4K 963 327
                                    

Malam yang sejuk mengiringi kesepianku. Angin malam turut membelai lembut rambutku, menemaniku yang tengah sendiri menatap indahnya langit sebagai teman paling setia dalam menghadapi ketidakadilan ini.

Hari pun kian larut. Aku hanya duduk diam seraya menyandarkan tubuhku ke dinding dengan kepala sedikit mendongak, memandangi langit malam dengan keindahan alaminya yang kontemplatif.

Terkadang aku begitu iri pada malam. Meskipun gelap, bulan dan bintang tak pernah meninggalkannya sendiri. Berbeda dengan realita yang ada. Di saat seseorang berada pada titik terendah dalam hidupnya dan tak memiliki apa-apa, mereka selalu ditinggalkan, itulah kenyataannya. Mungkin benar kata mereka, 'sesetia apa pun bayangan menemani, ketika gelap ia tetap pergi'.

Hoaammm....

Larutnya malam menyurutkan mataku, memaksaku untuk tidur dalam kekalutan yang belum usai.

"Menyebalkan sekali," gerutuku seraya meninggalkan tempat tersebut untuk tidur.

--..--..--..--

"Kak! cepat bangun! lihat ini sudah jam berapa?"

Terdengar suara nyaring yang menarik paksa diriku keluar dari alam mimpi. Namun, karena mataku masih terlalu malas untuk terbuka, kualihkan tubuhku membelakangi suara itu.

"Berisik ah ... lima menit lagi!" Balasku dengan nada lemas.

"Sudah mau jam tujuh loh, Kak! cepat bangun!" Tangan mungil Azizah terus menggoyang-goyangkan tubuhku.

Dengan terpaksa kuangkat tubuhku yang masih malas ini, lalu kuarahkan mataku pada jam yang kutaruh di meja untuk memastikan keterangan waktu yang kudengar tadi. Jarum yang membuat pola hampir jam tujuh itu mendadak membuat mataku terbelalak.

"A-Azizah, kenapa kamu gak bangunin dari tadi!?" panikku melihat keterangan waktu yang diberikan adikku ternyata benar adanya.

"Huh, dari tadi Azizah udah coba bangunin. Kakak aja yang kebo!" balas Azizah dengan nada kesal lalu meninggalkan kamar ini.

Segera aku menyiapkan diri untuk berangkat. Tak ada waktu yang tersisa untukku mandi jadi kubasuh saja wajahku. Dengan cepat kukenakan seragam lalu meninggalkan rumah ini karena jam telah menunjukkan pukul tujuh. Tak ada waktu juga untukku menyiapkan sarapan. Pada akhirnya kubeli saja roti dan kumakan roti itu sebagai teman di perjalananku.

Kakiku melangkah sedikit lebih cepat dari biasanya. Namun aku tidak sedang berlari sambil membawa roti di mulutku. Berlari sambil menggendong tas seberat ini amatlah merepotkan, lagi pula rasanya berbahaya jika berlari dengan keadaan perut kosong seperti ini.

Sesampainya di sana, sekolah biasanya tetap mengizinkan muridnya untuk masuk meskipun terlambat. Namun dengan bayaran cubitan kecil di perut atau tarikan kecil di rambut. Masalahnya ada pada guru pengajar saja karena bisa masuk ke sekolah bukan berarti bisa memasuki kelas.

Saat kudengar kelasku masih dipenuhi oleh suara bising dari obrolan tak jelas dapat kusimpulkan bahwa tak ada keberadaan guru di sana. Aku pun bergegas menuju tempat dudukku. Beruntung guru tersebut hadir setelah aku memasuki kelas.

Pelajaran pun dimulai. Dapat dipastikan pelajaran hari ini akan berjalan seperti biasanya. Guru menerangkan di depan dan murid mendengarkan di bangku masing-masing, hal yang sangat sering terjadi. Mengapa para guru tidak mencoba metode pembelajaran yang lebih menarik? seperti belajar dalam sebuah permainan atau apa saja yang menyenangkan. Bukankah belajar yang baik adalah belajar dalam kondisi senang? bukan dalam kondisi bosan dan mengantuk seperti ini.

Sampai sekarang aku masih tidak mengerti untuk apa pelajaran seperti ini ada di sekolah. Jika dipikir-pikir untuk apa aku harus menghitung seberapa cepat buah kelapa jatuh dari pohonnya, padahal pemilik pohon kelapanya saja tak pernah mempersoalkan hal tersebut.

Menyebalkan sekali....

Aku, Pandanganku, dan DuniakuWhere stories live. Discover now