Sun <> (2) Second Meet

38.7K 3K 50
                                    

Sun <> (2) Second Meet

= = = = =

 

“Tiga tahun berlalu tapi tetep sama,” ucap Amma. Dia dan Wira sudah sampai ke perkemahan. Setelah mengurus segala registrasi dan biaya, akhirnya mereka mendapat kamar berupa tenda besar berwarna biru gelap. Sekarang, Wira tengah membantu Amma menyusun baju-baju di lemari cewek itu. Ransel Wira yang masih rapi malah belum tersentuh sedikitpun, fokus cowok itu hanya pada Amma.

“Tetep sama apanya?” tanya Wira disela-sela menaruh baju. Begitu Wira—dengan posisi berjongkok—berbalik untuk mengambil baju, dia mendapati pakaian dalam Amma. Kedua tangan Wira otomatis menutup matanya, malu sendiri. “Amma, tolong, ya. Kalo nyimpen daleman jangan disatuin sama baju.” Sahutnya bercanda.

Amma mengurai tawa. Dia mengambil pakaian dalamnya dan menaruh di rak lemari paling atas. Wira mengintip dari sela-sela jemarinya, dirasa situasi aman, dia menghela nafas lega. “Tadi itu bahaya.”

“Wira tetep Wira,” gumam Amma kalem.

“Apa sih, ‘Ma. Itu kan emang serem. Nanti bahaya kalo gue mikir yang enggak-enggak,” Wira membela diri.

“Ngapain mikir yang enggak-enggak ke sahabat sendiri?”

Wira mengerjap beberapa saat. Dia sadar dan akhirnya nyengir tiga jari. “Eh, iya juga, ya.”

“Tuh, kan. Wira tetep Wira.” Amma menjalin rambutnya sehingga menjadi satu, lalu mengikatnya. Udara di San Francisco sangat panas.

Menyadari itu, Amma kembali teringat saat ia mengenakan mantel berbulu di bandara Soekarno-Hatta. Kadang pikirannya kacau sehingga lupa di negara bagian California itu tengah musim panas. Untung saja Wira menyuruhnya berganti baju ketika mereka di pesawat. Jadi Amma tidak perlu kepanasan begitu keluar dari bandara internasional San Francisco.

“Oh, iya.” Celetukkan Wira membuat lamunan Amma buyar. Amma menatap sahabatnya bingung. “Tadi, yang lo maksud apaan?” tanyanya.

“Yang mana?” tanya Amma.

“Yang ‘tiga tahun berlalu tapi tetep sama’,” wajah Wira berubah gemas. “Lo jadi pikun deh, Ma.”

Amma tersenyum kalem. Sama sekali tidak terprovokasi Wira yang menyebutnya pikun. “Udara di sini tetep sama, Wira. Suasananya juga. Semua persis seperti saat aku ke sini pertama kali.”

Menarik nafas, Wira melihat mata Amma yang berubah sendu. Selalu seperti ini. Wira tidak bisa membuat Amma lupa tentang masa lalunya. Astaga. Apa yang akan terjadi jika sahabatnya dan si brengsek itu bertemu? Hanya diam? Canggung? Saling menyalahkan? Adu mulut? Atau apa? Wira bahkan ngeri membayangkan Amma akan menampar masa lalunya. Meski, Wira rasa, itu hal terakhir yang Amma lakukan.

“Ammabel!” jerit seseorang, membuat Wira dan Amma tersentak.

Seorang perempuan cantik bermata hazel mendekati Amma dengan terburu-buru. Dia langsung memeluk Amma dengan erat. Rambut pirang perempuan itu bergoyang-goyang sesuai gerakan badannya, membuat Wira sedikit mengernyit karena si rambut nyaris mengenai lubang hidungnya. Amma sendiri geli melihat ekspresi Wira yang risi.

“Sudah lama aku tidak melihatmu!” pekik si rambut pirang. “Kau bahkan tidak membalas e-mail-ku.”

Amma bergeser sedikit ke kanan. Dia mengambil nafas. Tadi pasokan oksigennya menipis karena telah terkontaminasi parfum menyengat si rambut pirang—Jeanny. Seakan tak peduli, Jeanny kembali menarik Amma ke pelukannya.

My bestie, kenapa kau tidak membalas e-mail-ku?” desak Jeanny sebal.

“Itu—“ Amma mengambil nafas lagi. “Alamat e-mail-nya kuganti. Jadi, aku tak tahu kalau kau mengirim pesan. Kukira kau lupa padaku.”

ST [8] - Summer and Ammabel's PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang