Sun <> (1) Meet Amma ... and Will

65.4K 3.3K 47
                                    

Sun <> (1) Meet Amma ... and Will

= = = = =

Jakarta, 07.00 AM.

Gue udah berusaha ngerti.”

Ini kesekian kalinya bagi Amma mendengar perkataan Wira yang notabene sebagai sahabatnya dari kecil. Amma hanya tersenyum manis. Bahkan, Wira datang ke rumahnya sebelum dia sarapan. Memang, otak cowok itu agak rada-rada.

Bukan salah Wira datang ke rumah Amma pagi-pagi buta seperti ini. Bayangkan saja. Baru kemarin mereka lulus SMA, baru saja mencecap rasa manisnya bebas dari segala macam tugas dan ujian. Tapi malamnya, Amma dengan segala rencana di kepala cantiknya, memutuskan untuk pergi ke California.

Musim panas. Liburan. Perkemahan.

“Dan tetaplah berusaha untuk ngerti,” Amma membalas kalem, dia menyingkap selimut di tubuhnya. Lihat bagaimana Wira tidak sungkan melihat rambut Amma yang berantakan, seperti sangkar burung, pikir Wira. Entah mengapa, Wira merasa sangkar burung di depannya sangat manis.

“Oke. Terserah. Tapi, masalahnya, gue-butuh-penjelasan.” Mata Wira beralih, dari rambut Amma ke mata cewek itu. Untuk sesaat, Amma gugup. Mata elang milik Wira seakan memberitahu bahwa semua perkataan cowok itu sepantasnya dipatuhi. “Kita, lo dan gue. Kita udah ngerencanain liburan kali ini sebelum lo kuliah di Amsterdam. Dan kita ...” Wira mengangkat kedua tangan, lalu jari telunjuk dan jari tengahnya bergerak saat ia menekankan kata kita. ”Kita sepakat gak ada negara bagian California di agenda musim panas.”

Amma tertawa. Di pagi hari seperti ini, bahkan kemarin dia menganggap dirinya nyaris mati, ternyata Amma masih bisa mengurai tawa. Dari kecil Wira memang ekspresif. Amma yang terkenal kalem seringkali tertawa karena sikap berlebihan sahabatnya.

Berlebihan yang bagus.

“Aku mandi dulu, ya. Nanti aku jelasin,” tukas Amma pelan.

Meski agak kesal, Wira tetap mau menunggu saat Amma ijin mandi. Wira berjalan ke lantai bawah lewat tangga spiral. Lebih sopan jika dia menunggu di halaman belakang rumah Amma alih-alih kamar cewek itu. Selain Wira menghormati Amma sebagai perempuan, dia juga tidak mau ada isu yang aneh-aneh.

Amma datang dari lantai dua tak lama setelah Wira selesai meminum dua cangkir teh hangat. Kaki mungil Amma berhenti bergerak saat Wira menatapnya tajam. Jelas sekali, cowok di hadapannya bersikeras ingin mengetahui alasan Amma.

“Oke-oke. Enaknya kita sarapan apa, ya?” Amma menatap meja bar yang terhubung dengan halaman belakang. Posisinya yang membelakangi Wira membuat cowok itu jengkel. Sudah cukup bermainnya.

“Apa ini gara-gara telepon dari Om Naufal?” segala gerak-gerik Amma terhenti begitu Wira menyebut-nyebut nama Ayahnya. Dia termangu beberapa saat. Mata Amma melihat refleksi dirinya di marmer meja bar. Bayangan saat dia menerima telepon Ayahnya kembali menghantui. Cepat-cepat Amma mengerjapkan mata sehingga bayangan itu menghilang.

“Om Naufal emang kenapa?” tanya Amma kalem.

Stop being stupid, Ammabel Flow Charles,” Wira memutar bola matanya, malas. Dia sebal jika Amma selalu memutar-mutar pada lingkaran yang sama, berusaha memainkan Wira sampai dia bosan dan akhirnya batal memberitahu. Tabiat Amma yang seperti ini bukan hanya sesekali terjadi, melainkan berkali-kali. Wira sering kesal, namun dia tidak bisa mengatakan apa-apa.

Amma membalikkan badan sehingga Wira melihat raut wajah perempuan itu. Seketika, Wira menahan ludah. Amma tengah sakit. Bukan, bukan dilihat dari fisik perempuan itu. Hatinya, pikir Wira. Ia merasa bersalah karena sesaat menjadi brengsekdengan memaksa Amma untuk bercerita.

ST [8] - Summer and Ammabel's PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang