"Gak. Aku gak mau dibeliin boneka baru. Mana mungkin aku ngebuang gitu aja sesuatu yang udah rela berkorban demi menolongku. Biar nanti, Coco ... aku jahit aja," tolak Helga ketus, disambut kekehan geli oleh Devian yang langsung mengacak gemas rambut gadis itu.

"Oke! Kalo gitu ... jangan tunjukin lagi muka sedihnya dong. Jelek tau!" celetuk pemuda bermata kecil itu beralih merusak tatanan poni yang menutupi dahi Helga.

Melihat keakraban yang terjalin antara Helga dan Devian, kini giliran Dylan yang merasakan ada sesuatu yang aneh, tengah bergemuruh di dadanya. Otaknya pun mulai dipenuhi pertanyaan, tentang siapa Helga, dan apa hubungannya dengan si anak indigo, yang juga telah menyelamatkan Dylan dari teror para hantu mengerikan semalam.

Belum sempat sebuah lontaran pertanyaan terucap dari bibir Dylan yang rupanya telah tertarik dengan paras cantik Helga, Devian sudah lebih dulu menyela dan mengajak mereka semua untuk pergi dari tempat itu. Karena Dylan, Arthur, Ernest, Baron dan Helga harus mempersiapkan diri untuk berangkat menuju sekolah baru mereka sore nanti.

©Rainsy™

Devian bak seorang supir kendaraan umum yang mengantarkan kelima penumpangnya untuk pulang ke rumah mereka masing-masing. Namun bedanya, Devian mengantarkan penumpangnya itu, hanya dengan berjalan kaki. Guna membunuh jalan panjang berliku yang mereka lewati, Ernest dan Arthur memanfaatkan kesempatan itu untuk berkenalan dengan Helga, lantas mengintrogasinya. Kenapa Helga bisa sampai tak menyadari tubuhnya dikendalikan oleh sosok tak kasat mata, seperti hantu wanita, yang Devian ceritakan tengah memeluk erat punggung Helga di atap gedung tadi.

Sembari mendekap erat boneka beruang berhoodienya, Helga menjawab, "Aku ... aku gak tahu. Aku beneran gak tahu kenapa aku bisa sampe ada di tempat itu."

"Loh? Emang waktu kerasukan tadi, lo gak ngerasain apa-apa sebelumnya?" tegur Baron merasa aneh.

Mendengar ada sesuatu yang perlu diluruskam dari ucapan Baron barusan. Devian buru-buru menyela. "Helga tidak kerasukan dia cuma ketempelan. Kalau kerasukan, suara dan sikap Helga akan berubah total, tapi jika hanya ketempelan, Helga sendiri masih bisa mengendalikan separuh tubuhnya. Meski sebagian syaraf yang lain telah dikuasai oleh makhluk astral yang melekat di punggungnya." Devian mengambil jeda, mengamati keseriusan Dylan CS yang menyimak penjelasannya. "Dan alasan kenapa Helga tidak menyadari akan apa yang sudah raganya perbuat itu, mungkin ... karena jin wanita tadi, menyerang atau mengendalikan kinerja saraf otaknya secara perlahan. Semacem hipnotis gitulah, yang bikin si korbannya hilang kesadaran, meski dengan mata yang masih terbuka. Dan buat kamu, Helga. Lebih berhati-hati lagi ya ke depannya. Karena aura yang terpancar dari tubuh kamu itu, bener-bener menggoda mereka," imbuh Devian menutup penjelasannya.

Setelah begitu rinci mendengar penjelasan dari Devian. Kelima remaja yang berjalan beriringan dengannya itu, membisu. Mungkin, mereka semua tengah mencerna sedikit demi sedikit ucapan Devian barusan.

Suasana menghening. Pergerakan angin musim panas yang berembus dari arah depan, membuat Devian sesekali mengerjapkan matanya yang terkena tiupan debu jalanan. Suasana sepi itu memecah, ketika Ernest menyampaikan rasa penasarannya pada Devian.

"Lo ... beneran anak dukun ya, Dev? Kayaknya paham bener lo sama masalah yang berbau mistis gitu," celetuknya yang disambut tawa renyah Devian. 

"Atau jangan-jangan, lo salah satu murid dari SHS kali ya? Terbukti 'kan, dari lo yang sejak awal udah nyaranin kita semua buat masuk ke itu sekolah, yang belum jelas lokasinya di mana," sambung Baron menimpali.

Dan pemuda yang mengenakan celana training panjang bergambar panda, yang berjalan paling depan itu hanya menggelengkan kepalanya lemah.

"Gue gak sekolah di situ. Cuma, SHS emang tempat paling tepat dan aman buat orang-orang terpilih kayak kalian."

Supranatural High School [ End ]Where stories live. Discover now