Kebetulan-kebetulan

Mulai dari awal
                                    

"Itu Mia yang masang." Beritahu Arka tiba-tiba saat Giri tampak serius memandangi satu fotonya bersama Mia.

"Lucu." Gumam Giri pelan. Foto itu diambil saat Arka dan Mia naik roller coaster di Dufan. Bisa ditebak, ekspresi keduanya memang sedang jelak-jeleknya disana. namun bagi Mia, foto itu sangat berharga, sampai mati-matian memaksa Arka untuk memasangnya di kamar. Sama seperti Giri, Arka tidak tahu dimana letak keindahan seninya di foto itu.

"Ngomong-ngomong, kamu ngapain pagi-pagi kesini, sayang? sampe nyusul ke kamar lagi. kangen ya?" tanya Arka berusaha mengalihkan perhatian Giri dari mengomentari satu-satu foto yang tertempel di dinding.

"Mama kakak kok yang nyuruh aku kesini." sahut Giri berusaha menjelaskan. "Tujuanku kesini juga cuma mau nanya lukisan Anis udah jadi gak? Dia nanyain mulu nih."

"Terus?"

"Udah."

"Gak mau bilang kangen gitu?" pancing Arka.

"Udah ketemu, ngapain kangen-kangen." Balas Giri tak mau kalah. "Lagian kakak aku WA dari tadi gak masuk. Ditelfon juga gak aktif."

"Hapeku mati, lupa di-charge." Arka menunjuk ponselnya yang tergeletak di atas kasur. "Tapi kan sebagai gantinya kamu langsung nyusul kesini. ngomong-ngomong, Mama jarang loh ngizinin cewek masuk ke kamarku."

"Jarang?" ulang Giri. "Berarti pernah dong?"

Arka menyengi malu. "Maksudku kamu satu-satunya cewek yang pernah itu, Ri. Cewek lain yang pernah kesini paling ya Luna, istrinya Stefan, sahabatnya Mia, atau gak temen-temen pas jenguk aku kalau lagi sakit. Itu pun bertahun-tahun yang lalu."

"Alah... pandai banget sih ngelesnya? Pantes aja nenek langsung nyeramahin aku buat waspada sama cowok kayak kakak." Balas Giri sambil tertawa.

"Serius nenek kamu bilang gitu?" tanya Arka tak percaya. Ingatannya kembali terbayang kejadian seminggu lalu, saat dia ke Bogor mengantar Giri pulang ke rumah neneknya. Apa yang dipikirkan Arka selama perjalanan yakni mengantar Giri pulang, berkenalan sebentar dengan dengan keluarganya, lalu mereka akan menghabiskan waktu dengan berkencan romantis ala Arka. Puncak dengan udara dinginnya sungguh kombinasi yang pas untuk lelaki sepertinya. Tapi semua angan-angannya langsung buyar begitu ia bersalaman dengan nenek Giri. Arka masih ingat dengan jelas bagaimana cara mata wanita itu menyipit tajam saat melihatnya untuk pertama kali. Dilanjut dengan mengomentari rambut panjangnya, bertanya masih kuliah atau sudah kerja, dan pertanyaan lainnya sampai waktu yang diharapkan Arka untuk kencan romantisnya terbuang begitu saja dengan obrolan panjang bersama nenek Giri. Jangankan pergi keluar, punya waktu untuk ngobrol berduaan dengan Giri saja ia tidak bisa.

"Gak gitu juga sih. Cuma sepulangnya kakak nenek langsung gantian nyeramahin aku. Gimana cara pacaran yang bener. Gak boleh ini, gak boleh itu."

"Jadi aku udah dapet restu kan?"

"Mungkin." Jawab Giri pendek. "Tapi dari cara kakak ngerespon neneku sih kayaknya nenek oke-oke aja sama kakak. Dan ngomong-ngomong, kok bisa sih kakak ngerti drama india yang diomongin nenek?" Giri balas bertanya penasaran.

"Gimana gak ngerti, Ri. Orang tontonan nenek kamu sama Mama tuh sama aja. Tiap hari yang ditonton drama India." Arka geleng-geleng kepala pasrah.

Giri tertawa pelan. Kedua pipinya bersemu merah saat kembali teringat adegan obrolan Arka dan neneknya waktu itu. Melihatnya, Arka hanya bisa terpana. Sejak awal, senyuman itulah yang membuatnya terpesona pada Giri Adisty. Arka tak menampik, di antara banyak hal yang menarik di diri perempuan, kecantikan berapa pada urutan pertama. Bagi Arka, kecantikan adalah anugerah Tuhan, dan sudah seharusnya disyukuri dan dinikmati. Dalam kamusnya, mensyukuri dan menikmati anugerah tersebut adalah dalam bentuk tingkah nyata, yakni dipacari.

A.MTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang