Part 1

10.8K 1K 23
                                    

Kamu cukup dekat untuk dicapai. Tapi mengapa kamu merasa begitu jauh? Bahkan jika hatiku lemah. Aku tidak bisa pergi keluar saat tidak bersamamu.

Dentingan suara jam dinding seakan menambah keheningan tercipta. Meja makan itu di huni empat orang namun tidak ada satu pun yang mencoba untuk bicara. Mereka lebih memilih diam. Robby mengambil gelas sembari matanya melirik ke arah Reno, menantunya. Entah kenapa ia belum percaya 100 % bahwa Reno mampu membahagiakan putri satu-satunya.

"Hari ini kamu mau ke Jakarta?" Rea, mama Tiara buka suara.

"Iya, ma. Tiara kan sekarang sudah menikah jadi harus ikut suami," jawab Tiara. Ia meletakkan sendok dan garpunya menyilang tanda selesai makan.

"Jaga Tiara disana ya, Reno," ucap Rea sembari tersenyum. Ia menitipkan putrinya. Ia tidak bisa melepas Tiara begitu saja sebenarnya. Namun apa mau dikata Tiara sudah menikah dan sedang mengandung cucunya.

"Baik, tante." Reno berjanji akan melindungi Tiara sebagai suami. Ia meringis, suami. Iya kini berstatus suami orang.

"Panggil mama, sekarangkan kamu menantu mama. Kamu sudah menjadi bagian dari keluarga kecil kami. Mama harap kamu bisa mengayomi Tiara. Tingkahnya masih seperti anak kecil maklum dia anak semata wayang. Selama ini Tiara tidak pernah pergi jauh. Jadi mama merasa kehilangan." Ucapnya sedih. Ia mengelus punggung Tiara dengan sayang. Matanya sudah berkaca-kaca.

"Iya, mama." Sahut Reno.

"Mama," Tiara memeluk Rea. "Tiara akan baik-baik saja, mama tenang saja."

"Disana hati-hati ya, sayang," Rea semakin kencang tangisannya. Untuk pertama kalinya ia akan berpisah dengan Tiara. Ia tidak menyangka akan secepat ini putrinya meninggalkannya. Robby menatap keduanya sedih. Binar matanya meredup ia pun merasakan kesedihan Rea. Sebagai ayah yang sangat dekat dengan putrinya merasa kehilangan bagaikan separuh jiwanya pergi. Jarak Jakarta - Singapura sangat jauh. Bila mereka merindukan Tiara harus naik pesawat.

Semalam Robby memberikan wejangan kepada Reno. Ia tidak mau Reno menyakiti putrinya. Sejujurnya Robby belum yakin dengan keputusannya menikahkan putrinya dengan Reno. Keterpaksaan yang mengharuskannya. Andai saja Tiara tidak hamil mungkin pernikahan itu tidak terjadi.

***
Reno menyeret koper Tiara. Siang ini mereka akan naik pesawat menuju Jakarta. Rela tidak rela Rea harus melepaskan putrinya. Dengan berurai air mata orangtua Tiara mengantarkan ke Bandara. Tiara pun ikut menangis.

"Mama sama Papa, jaga kesehatan kalian. Nanti Tiara bakal ke Singapura menjenguk.. Hikss hikss," Tiara memeluk Robby. "Papa jangan lupa minum obatnya, sekarang Tiara tidak ada," biasanya Tiaralah yang mengingatkan waktu Robby minum obat. Tapi kini Tiara pergi mengarungi bahtera rumah tangga. Hanya doa yang Rea dan Robby sematkan untuk Tiara. Bahagia dan bahagia.

Reno berpamitan pada orangtua Tiara.

"Tolong putri kami." Ucap Robby menegaskan.

"Baik, pa." Jawaban singkat yang sepenuhnya tidak yakin.

Di pesawat Tiara bersikap biasa. Ia tidak gugup atau takut naik pesawat. Tiara sudah terbiasa, namun Reno khawatir. Pria itu cemas jika Tiara masih mual. Reno memasangkan sabuk pengaman Tiara.

"Terimakasih," ucap Tiara yang hanya diangguki Reno.

Reno, pria pendiam. Ia selalu berpikir serius, tidak suka neko-neko dan matang. Reno harus mengimbangi Tiara yang masih bersifat kekanak-kanakkan. Ia menyenderkan punggungnya ke kursi seraya memejamkan mata. Tiara diam melihat suaminya yang tidak ingin berbasa-basi untuk bicara. Ia bersabar dengan keadaan ini.

Tiara ingin merubah pandangan Reno yang terlalu cuek. Ia ingin perhatian dari Reno. Apalagi dirinya sedang hamil anak Reno. Tidak adakah ia mengkhawatirkan dan sayang  pada bayi yang ada dikandungan Tiara. Ia tau tidak bisa memaksakan sesuatu apa lagi perasaan. Biarlah waktu yang menjawabnya, pikir Tiara.

Tiara membuang tatapan matanya ke kaca pesawat. Ia tidak bisa tidur. Hatinya tidak tenang. Tinggal di Jakarta dengan pria asing yang ia cintai. Perasaan Tiara berkembang menjadi cinta karena Reno. Pria itu yang hadir dengan tiba-tiba menawarkan impian. Ia tidak tau jika impian itu hanya bualan belaka bagi Reno.
Reno ingin memisahkan Bayu dan Tiara. Semuanya berawal dari Raina, gadis yang diam-diam Reno cintai. Ia mengorbankan diri dan juga perasaannya untuk Raina bahagia. Reno mempunyai rencana mendekati Tiara agar memutuskan pertunangannya dengan Bayu. Pada akhirnya mereka memang putus namun malah membuat Reno terikat.

Bayi itu menjadi tanggung jawabnya. Bayi yang hadir atas ketidak inginan Reno dan juga Tiara. Bayi itu yang merubah segalanya.

Reno menepuk-nepuk pipi Tiara pelan membangunkannya. Istrinya mengeluh sebentar lalu matanya mengerjap.

"Kita sudah sampai di Jakarta," ucap Reno.

"Oh, sudah sampai. Maaf, aku ketiduran," Tiara gugup, ia hampir saja bangun tanpa memperdulikan sabuk pengaman yang masih melekat di tubuhnya. Reno menahannya cukup keras.

"Sabuk pengamannya belum dibuka, Tiara," desisnya. Reno takut perut Tiara akan tertekan jika memaksa bangun. Dengan cepat ia membukanya. Tiara mengatup bibirnya rapat.

Tiara dan Reno bagaikan orang asing...

Tiara cemberut ketika Reno meninggalkannya dibelakang. Pria berbahu lebar itu berjalan seorang diri di depannya dengan kedua tangannya menyeret koper. Dengan kesal Tiara menyamai langkahnya.

Dosa apa aku lakukan sampai mencintai dan mempunyai suami seperti dirinya!

Sepanjang jalan di dalam taksi Tiara menggerutu tidak jelas. Kelakuan Reno membuatnya ingin mengigit tangan suaminya itu. Sampai di apartement Reno menunjukan kamar mereka. Mood Tiara luntur ketika mendengar ucapan Reno. Ia senang sekali mereka tetap satu kamar. Tiara berpikiran pasti Reno ingin pisah kamar tapi nyatanya tidak.

Kekesalannya meluap melihat kamar pribadi Reno. Dimana itu menjadi peraduan mereka saat bersama satu malam yang lalu. Malam yang membuahkan hasil dalam rahim Tiara. Penyesalan memang datang terlambat. Kenangan itu tersimpan dihati mereka.

"Kalau ada yang kamu tidak suka, kamu boleh merubahnya." Ucap Reno seraya menaruh koper di pojokan.

"Aku ingin merubah hatimu," gumam Tiara pelan.

"Ya?" Dahinya mengerut ia tidak jelas mendengarnya. Tiara tersenyum lebar.

"Aku akan merubahnya, Reno," ucapnya pasti. Hatimu untukku, lanjutnya dalam hati.

"Ubahlah." Mata mereka saling menatap. Binar mata Tiara sungguh menggoda, Reno mencoba menghalaunya. "Aku mau ke ruang kerjaku dulu." Ia berbalik.

"Apa kerja adalah bagian hidupmu?. Kenapa alasanmu selalu bekerja?. Kamu baru sampai Jakarta, Reno," keluh Tiara. Reno masih membelakanginya.

"Bekerja adalah duniaku." Sahutnya dingin.

"Dan aku adalah penyesalanmu," balas Tiara. Matanya berkabut air mata walaupun berusaha untuk tegar tapi ia wanita biasa. Hatinya setipis kaca, akan pecah jika dipukul berkali-kali.

"Aku mohon Tiara, jangan memulainya." Timpalnya datar. Reno memejamkan matanya untuk menahan emosinya.

"Pergilah," titah Tiara lebih dingin yang dituruti Reno.

Bisakah kamu melihatku?
Bisakah kamu mendengar cintaku?

Satu-satunya yang aku inginkan memberikan segalanya padamu. Tapi jika aku mengambil langkah kamu akan jauh. Jadi hatiku menutup bibirku, seperti orang bodoh.

Jgn pd baper ya.. Heheee

Sorry typo & absurd & nanggung
Wkwkwk

Love U!! My Readers!! 😘😘
Muuuaaahh

Remember Me Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang