Delia langsung duduk di sampingku. Ia terlihat sangat antusias sekali untuk mendengar penjelasan dariku. "Ayo Van..." rengeknya dengan tidak sabaran.

Aku menghela napas sebelum menceritakan apa yang terjadi pada Delia. "Gue beneran lost contac sama dia. Tapi, kemarin pas nunggu hujan reda, gue ketemu sama dia di sekolah. Gue nggak tau dia ngapain di sini karena dia nggak mau ngasih tau. Pas sampai di rumah, tiba-tiba dia nge-add LINE gue. Gue nggak tau dia dapet nomor gue dari mana. Rasanya aneh banget."

Delia manggut-manggut. "Bukan dari gue loh ya," katanya.

"Iya, iya. Gue tau lo nggak bakal ngasih nomor handphone gue sama dia."

Delia tersenyum tipis. "Terus gimana?"

Aku menaikkan sebelah alisku bingung. "Gimana apanya?"

"Ya... lo sama dia."

"Ya nggak gimana-gimana. Emang mau gimana coba?"

Kutanya balik, Delia justru mendesis. "Tau deh. Terserah lo lah."

Aku terkekeh. "Lo udah ngerjain fisika?" tanyaku tiba-tiba teringat dengan tugas fisika yang diberikan minggu lalu.

"Ud— emang ada tugas?" dahinya mengernyit.

"Ada lah! Lo gimana sih."

Delia tiba-tiba mengedip-ngedipkan matanya padaku. Ia memasang tampang terimutnya. Aku mendengus. Mengerti dengan kode yang ia berikan. Aku mengambil buku tugas fisikaku dari dalam tas lalu memberikannya pada Delia.

"Uh, makasih Vanesha yang cantik, imut, dan baik hatiii...." Delia memelukku erat-erat. Aku mencoba melepasnya lantaran merasa risih dan takut jika ada yang melihat. Mereka bisa saja salah paham jika melihat kami.

"Gue doain lo jadian sama Sakha deh!"

Aku menggeleng-gelengkan kepala. "Ada-ada aja lo."

***

"Eh, Sakha bales chat lo nggak?" Delia mengerlingkan matanya.

Aku mengernyitkan dahi sambil menahan tawa. "Apaan, orang gue nggak bales chat-nya dia juga."

"Masa?"

"Iya."

"Serius lo?"

"Iya Del--

"Pengumuman! Biologi kosong!" Kedatangan Bayu membuat perkataanku terputus. Pengumuman yang ia umumkan  barusan sontak membuat siswa di kelasku berteriak kegirangan, termasuk aku.

"Akhirnya bisa istirahat setelah jam istirahat kepotong buat nyelesein tugas matematika, hhh...."

"Hari ini kok banyak yang kosong? Tumben banget."

"Alhamdulillah gitu, Del. Wkwk, kan jarang-jarang kita kosong."

"Guys! Lo pada tau nggak berita terbaru?"
Sandra tiba-tiba duduk di depanku, tempat Bayu yang entah pergi ke mana setelah mengumumkan bahwa pelajaran biologi hari ini kosong.

Aku mengernyitkan dahi. Berita apa lagi yang dibawa Sandra, si cewek ter-update di kelasku? Dia adalah wakil ketua kelas, cewek paling update, dan memperhatikan penampilan banget. Katanya sih, penampilan itu nggak penting, yang penting hatinya. Tapi, semuanya itu berawal dari penampilan.

Sempat beberapa kali aku mengkritik Sandra yang terlalu memperhatikan penampilannya, aku justru diceramahi macam-macam olehnya.

"Berita apaan sih, San?" tanyaku penasaran.

"Mau tau banget apa mau tau aja?" Sandra terkekeh.

"To the point aja sih, San." Delia terlihat tidak sabar. Sandra kadang-kadang emang ngeselin.

"Haha... oke, oke. Gue barusan dari kantor sama Bayu buat nyari Pak Hilman, tapi ternyata lagi rapat kan. Nah, gue ketemu sama Bu Ririn."

Aku dan Delia menyimak cerita Sandra. Kami sama-sama menaikkan alis kala Sandra berhenti sejenak untuk mengambil napas.

"Terus?"

Sandra mendelik menatapku. "Sabar! Astaga... gue tarik napas dulu keleus, Van!"

"Iya, iya, yaudah lanjut lagi deh."

"Bu Ririn bilang sama gue kalau besok bakal ada anak baru, cowok!"

"Terus?"

"Terus-terus mulu lo Van," protes Delia. Ia lantas menatap Sandra yang tengah menggerutu kesal karenaku. "Emang masuk kelas kita, San?"

Wajah Sandra kembali ceria setelah sempat suram beberapa detik yang lalu. "Iya! Kalau nggak ya ngapain gue cerita."

"Ngobrolin apaan sih? Ngobrolin gue ya? Seru banget kayaknya."
Rama duduk di samping Sandra tanpa permisi. Ia melempar senyum pada Sandra yang justru bergidik melihatnya.

"Ewh! Jijik gue lihatnya, Ram." Sandra beringsut dari duduknya.

"Ya ampun San, gue udah rapi sama wangi gini, lo masih jijik sama gue? Astaga... kurang gue apa sih, San?"

"Lo kalau suka sama Sandra tuh harus jadi cowok yang perfectionist, Ram." Aku menahan tawa melihat ekspresi wajah Rama yang terlihat memelas.

***

Sakha men-dribble bola basketnya kemudian melempar benda bulat itu ke ring. Suara tepuk tangan terdengar menggema di penjuru lapangan basket indoor kala bola yang dilemparkan Sakha berhasil masuk ke dalam ring dengan sempurna. Sakha membalikkan tubuhnya ke belakang dan dengan sigap ia menerima lemparan botol air mineral dari Rama.

"Thanks," ucap Sakha setelah meneguk air mineral pemberian Rama.

"Lo masuk kelas apa, Sa?"

Rama duduk di pinggiran lapangan diikuti oleh Sakha yang langsung mengambil ponsel dari dalam tasnya. Ia seperti sedang mengecek sesuatu di ponselnya.

"IPA dua," jawabnya tanpa menoleh. Ia sibuk berkutat dengan ponselnya.

"Lo ngapain sih? Chat sama mantan?" tanya Rama penasaran sekaligus heran. Mendengar kata 'mantan' disebut-sebut, Sakha memberikan tatapan tajam kepada Rama. Rupanya telinganya masih terlalu sensitif untuk mendengar kata 'mantan'.

"Nggak usah sebut-sebut dia lagi," ujarnya kesal.

Sakha mengerutkan dahi kala mendengar gelak tawa yang keluar dari mulut Rama. "Kenapa lo ketawa?"

"Haha... sumpah ya, lo kelihatan belum move on banget."

Sakha berdecak. Sahabatnya yang satu ini benar-benar tidak bisa mengerti perasaannya yang campur aduk -marah, kesal, sedih, kecewa- lantaran untuk pertama kalinya ia diputuskan oleh seorang perempuan. Sakha yang biasanya memutuskan, kini justru diputuskan. Sungguh, ini hal yang langka! Rama, sahabat Sakha dari orok pun masih tidak menyangka hingga sekarang.

"Sialan lo."

"Anak sriwijaya cantik-cantik kok, Sa. Lo tinggal pilih aja, haha..."

"Barang kali tinggal pilih."

***

Makasih udah baca, ditunggu voment dan saran dari kalian untuk cerita ini. Wkwk. 😆

The Way Into YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang