3 - (Penyelamdunia)

651 49 1
                                    

Salah satu pucuk dari bunga krisan yang tergeletak tersebut terbang tertiup angin sepoi-sepoi pada pagi buta ini. Tangan kanan dari salah satu orang yang berjongkok di sekitar makam tersebut mengelus batu nisan dengan penuh kasih sayang, air mata deras mengalir dari kedua matanya. Sementara yang lain hanya bisa terdiam.

Seakan-akan tidak memedulikan keadaan sedih yang sedang dialami oleh keluarga kecil itu, mentari dengan sombongnya bersinar cerah tanpa satupun awan yang menghalangi. Pagi menjelang siang yang cerah, namun dipenuhi kesedihan.

"Veranda......" ujar sang ayah dengan lirih, "Bagaimana keadaanmu disana nak? Ayah dan ibu baik-baik saja disini, tidak usah khawatir..."

Sang ibu mengangguk sambil mengelus pelan pundak lelaki yang sedang menahan isakan di sebelahnya itu. Sudah menjadi kebiasaan baru bagi mereka untung mengunjungi makam Veranda setiap 3 hari sekali. Kebiasaan baru yang mulai di adaptasikan sejak kecelakaan tiga minggu yang lalu.

Bagaimana tidak syok? Mendengar kabar bahwa putri mereka satu-satunya kehilangan nyawa dalam sebuah kecelakaan. Barang-barang Veranda di kost sudah mereka pindahkan kembali ke rumah, dan kamarnya yang dulu mereka rapihkan, menghilangkan debu yang menumpuk sejak ia memulai kuliah. Keadaan rumah tangga yang begitu sepi sejak Veranda menuntut ilmu ke jenjang selanjutnya, sekarang makin sepi sejak kepergian dirinya.

Pasangan itu memutuskan untuk pergi setelah mencium batu nisan anak mereka, sambil sesekali mengusap air mata. Alangkah lebih baik jika mereka tidak terlalu terpuruk dalam kesedihan, setiap orang yang melihatnya akan merasa sedih juga, ketika kondisi keluarga yang kecil itu semakin kacau.

-----

"Hari ini kita mau kemana, Kinal?" tanya Veranda. Bidadari itu melompat-lompat kecil selagi menyusuri jalanan, namun wajahnya berubah bingung satu detik kemudian, "Kinal? Mengapa kamu tidak menjawab?"

Orang yang disebut namanya hanya terdiam sambil memasukkan tangannya pada kantong jaket, tatapannya menatap lurus kedepan, tidak menghiraukan Veranda. Ia sesekali menggerutu kecil dengan sebal, ia sudah setuju akan membantunya, tapi ia tidak mengira bahwa bidadari tersebut akan terus-terusan mengganggunya.

"Kiiiinaaaal, hari ini kita mau kemaaaanaaa?" tanya Veranda dengan nada seperti anak kecil, sambil mencolek-colek bahu tegap Kinal yang dibalut sweater berwarna abu-abu. Namun pianis muda itu semakin mengabaikannya, melirik pun tidak.

Veranda akhirnya menyerah, ia lebih memilih diam dan mengikuti arah Kinal menuju. Langkah kaki Kinal yang agak pincang membuatnya frustrasi karena ia ingin berjalan lebih cepat, sementara orang di sampingnya itu berjalan santai dan lambat. Bidadari itu akhirnya memutuskan untuk memandangi pemandangan sekitarnya, mengamati jalanan pagi yang penuh. Segerombolan karyawan kantor dengan setelan jas rapih berlari terburu-buru ke dalam sebuah gedung pencakar langit, membuat Veranda menebak-nebak apa yang akan mereka lakukan. Lalu pandangannya beralih ke jalanan, mobil-mobil yang berdesak-desakan dan mengklakson menambah suara bising di pagi menjelang siang ini.

Beberapa anak SMA yang tampaknya sedang membolos melewati Veranda, membuatnya berdecak kesal. Mengapa mereka membolos ketika masih banyak anak yang tidak bisa bersekolah? Sungguh tidak bersyukur. Bidadari itu berubah penasaran ketika sesosok orang dengan pakaian serba hitam melewati pandangan matanya, seakan lupa terhadap Kinal, langkah kakinya berjalan lambat menuju sosok itu. Tangannya ia raih ke pundak sosok tersebut.

Sret!

Tetapi ketika tangan kiri Veranda nyaris mengenai sosok itu, tangan kanannya ditarik keras oleh seseorang, membuatnya terdorong ke belakang. Orang itu melepaskan tangan kanan Veranda dan mencengkeram kedua bahunya dengan keras.

Why?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang