14. Bukan Alienasi

Começar do início
                                    

"Ng...." Tadi mau ngomong apa sih? Kejora membatin. "Ngg...."

"Ada apa, Sayang?" Tanya Jao lagi.

Masih sayang. Kejora ingin membenturkan jidatnya ke tembok supaya waras lagi. Tapi, niat brutalnya tidak kesampaian. Justru sekarang dia berguling-guling di sofa. Entah halusinasi atau apa, yang jelas, tubuhnya terasa lebih ringan. Kalau sampai Jao mengucapkan 100 kata sayang, Kejora yakin bisa terbang mencapai bulan. Bhaks. Elo error, Jor! Norak, deh!

"Jora, are you okay?" Suara Jao terdengar khawatir.

Waras! Waras! Waras! Dia hanya bilang sayang. Kamu bukan abege labil yang bakal histeris lihat genteng rumah gebetan. Otak Kejora mulai melantur, dan ini tanda-tanda bahaya.

"Jora, kamu baik-baik saja?"

Jawab, dodol kacang ijooooo! Teriakan itu berasal dari otaknya.

"I-iya." Kacau. Sekarang dirinya terbata-bata. Percis anak TK yang pertama kali diajari mengeja kata.

"Ada apa menelpon, Sayang?"

Ya Salam, Jao berniat membuatnya terbang!

"Sayang?" Ulang Jao, mencari kepastian karena Kejora masih diam saja.

"Tadi..., anu.... Apa, ya? Aduh." Konyol, Kejora mengelus kening, mengingat-ingat apa yang mau dikatakan pada Jao. Tapi, dia benar-benar lupa mau bicara apa. Serius.

"Kamu kangen, ya?" Tebak Jao kemudian terkekeh.

Sebilah anak panah yang tajam baru saja melesat ke dada Kejora. Dia ambruk di lantai sambil mengacungkan tangan di udara. "Tidak!"

"Sshh, kalau memang tidak, ya jangan histeris, gih. Kamu menyakiti telingaku, Sayang." Pesan Jao, masih tenang dan sulit ditebak maunya apa. Dia memang menyebalkan. Sudah menuduh dirinya kangen, eh..., ujung-ujungnya diimbuhi panggilan sayang lagi. Wanita mana yang kuat hati?

Aku lemah, Jao.... LEMAH.

"Satu jam lagi aku pulang." Jao menghela napas. "Ada berkas yang harus kutandatangani hari ini. Kamu tidak apa-apa, kan?"

Jao ini memang misterius. Shubuh tadi dia terlihat mau taubat. Walau hatinya masih keras. Sekarang, enak saja memanggilnya sayang seolah tidak terjadi apa-apa shubuh tadi.

"Aku mau mengajakmu ke polrestabes Bandung, Jao."

"Untuk?"

"Pembegal yang membunuh Bang Pras sudah ditemukan. Kamu diminta datang untuk identifikasi. Dan..., aku ingin menemanimu. Aku ingin melihat rupa orang yang tak punya naluri itu. Yah, menurutmu bagaimana jika aku menyumbangkan satu tinju atau tendangan? Wah, kamu harus mengajariku Wushu." Kejora mulai banyak omong.

"Oke, sekarang aku meluncur pulang." Jao menyahut mantap sekali. Kejora sampai terpaku mendengarnya.

"Katanya ada yang harus kamu tandatangani." Ingatkan Kejora. Dia takut Jao menyesal karena mendahulukan kepentingan pribadi.

Tapi, bukan Jao jika tidak membuat emosi Kejora luluh-lantak. "Tanda tangan? Itu bukan persoalan besar. Buatku, kamu adalah duniaku yang paling penting. Masalahmu adalah masalahku. Jadi, aku pulang."

Maka pria mana lagi yang pantas kucinta selain dia, Ya Allah? Kejora merasa dua pipinya memanas.

***

"Bapak?" Kejora mematung di depan seorang pria dengan pakaian lusuh. "Ini Bapak, kan?" Detik itu juga, dia menghambur dalam pelukan ayahnya.

Jao mengamati saja, enggan menyela. Dia paham kenapa Kejora sampai histeris seperti itu. Dulu pada saat masih hidup, Prasetya pernah bercerita bahwa sejak mengetahui istrinya selingkuh, ayahnya gelap mata, mendatangi rumah selingkuhan sang istri. Niatnya mau memberi pelajaran si pria yang sudah merebut istrinya dengan lancang, namun emosi yang tidak terkontrol dari kedua belah pihak menghilangkan naluri. Ayah Prasetya menusuk selingkuhan istrinya dengan benda tajam. Namun, di detik-detik terakhir, istri sahnya melindungi. Cerita berakhir dengan kematian wanita yang tidak bersalah, dirinya dilaporkan polisi dan baru dibebaskan beberapa bulan lalu. Bukan kembali datang pada anak-anaknya, ayah Kejora malah kabur entah kemana. Mungkin terlampau malu, dia memutuskan demikian. Atau..., Jao menghela napas, mengingat keluarganya sendiri, apa orang tua di dunia ini tidak mengerti tanggung jawab pada anak? Apakah orang tua di dunia ini hanya bisa menuntut si anak agar bisa A, B, C dan Z? Maka, terkutuklah mereka yang kehilangan naluri dalam mendidik keturunan mereka, batin Jao geram.

"Maaf, Pak Jaoshim, istri Anda kenal dengan tersangka?" Sela polisi, wajahnya menyiratkan keheranan.

"Tersangka?" Kejora melepas pelukan ayahnya. Oh, itu tidak bisa disebut pelukan. Ayahnya kaku mirip seornggok batu. Ledakan emosi yang dirasakannya, tidak disambut oleh pria yang dipanggilnya sebagai bapak. Kejora mengamati lebih jeli. Saat itu juga dia melihat borgol membelenggu dua tangan sang ayah. Dia mundur pelan-pelan.

"Maaf...." Kata Krisna, ayah Kejora, dengan mata berkaca-kaca.

Kejora masih mundur dan baru berhenti ketika punggungnya menabrak dada Jao.

"Tersangka apa, Pak?" Jao ingin tahu.

"Dia yang membegal Anda dan menembak teman Anda." Sahut si polisi tanpa ragu.

Kejora seperti tersambar petir. Jadi, yang membunuh kakaknya adalah ayahnya sendiri. Dunia ini benar-benar....

"Bapak bisa jelaskan, Nduk. Ini tidak seperti yang kamupikir." Krisna mendekat, namun dihalangi Jao. Dua orang polisi juga ikut menahan tubuhnya.

"Pulang, Jao." Kata Kejora dingin. Jao segera meraih jemari istrinya, menggenggam dan menatap penuh simpati. "Pulang."

***

Di dalam mobil, Jao pikir Kejora akan menangis kuat-kuat, melampiaskan emosi yang ditahan-tahan. Tapi, tebakan Jao meleset. Wanita itu hanya memejamkan mata dengan mulut komat-kamit seperti merapal sebuah mantra.

"Jora...."

"Astaghfirullah," Kejora mengusap wajah, menghilangkan semua pikiran buruk yang memenuhi kepalanya. "Apakah menurutmu benar jika seorang ayah tega membunuh anaknya?"

Jao menepikan mobil, beringsut lalu membawa Kejora dalam pelukannya.

"Jao..., antar aku pulang, aku ingin shalat." Kejora tidak menangis, tapi kesedihan yang ditunjukkan matanya, sukses menggada kepala Jao dengan palu berduri.

"Kenapa..., shalat?" Jao malah bertanya.

"Karena pikiran dan hatiku mulai kacau. Aku ingin mendatangiNya dengan harapan hatiku kembali lembut lagi." Kejora melepas pelukannya, memandangi Jao dengan mata sendu.

Pria itu kembali memeluk Kejora, kali ini lebih dalam dan dengan segenap perasaannya. Dia tahu masalah yang dihadapi istrinya bukan masalah sepele. Ayah yang dirindukan, ternyata adalah orang yang telah merenggut nyawa kakaknya. Takdir yang buruk, kan? Allah memang membiarkan kebrutalan terjadi, namun lihat, pilihan yang diambil Kejora adalah mendatangiNya. Tidak seperti dirinya yang memilih menjauh.

Jao penasaran dengan jalan pikiran Kejora.

"Jora, setelah Dia mengambil Pras, menjadikan ayahmu seorang pembunuh, masihkah kamu percaya pada kekuasaanNya dan kebaikanNya?" Jao setengah berbisik. Pelukan itu belum dilepaskan olehnya.

"Dengar, Jao..., segala kebaikan berasal dariNya. Juga kejahatan ada karena Allah ingin tahu pilihan apa yang akan diambil manusia." Kejora memberi jarak untuk pelukan mereka, disentuhnya dada Jao. "Hati adalah kunci memahami kuasaNya. Karena itu, aku tidak mau hatiku menjadi picik, serakah, dan mendengki. Bagiku, semua masalah adalah caraNya agar aku lebih dekat lagi. Kuakui, memang aku kecewa pada ayahku yang memilih menjadi penjahat, tapi aku tidak kecewa pada Allah. Aku menerima semua takdirNya, belajar mengikhlaskan, dan ridha pada setiap keputusanNya, baik maupun buruk. Di sinilah letak perbedaan kita, Jao. Barangkali ketika punya masalah, kamu bertanya-tanya tentang kekuasaanNya. Ketahuilah, Jao, tanyamu adalah keraguan. Semakin kamu bertanya, semakin kamu ragu. Sebab sesungguhnya kamu tidak butuh jawaban. Kamu hanya perlu diteguhkan."

Jao memeluk Kejora lagi. Lebih erat dari sebelumnya. Wanita ini..., batin Jao gelisah, berhasil membuatnya gemetaran. "Jora, maukah kamu mengajakku shalat denganmu?"

"Jao?" Kejora kaget bukan main.

Jao menarik tubuhnya, ganti meletakkan tangannya di dada kiri Kejora. Dia mengambil napas sekali, kemudian bersyahadat. Mata pria itu berkaca-kaca, penuh emosi, dan kerinduan. Kejora memeluknya lagi sambil terisak-isak.

Allah, Kau memang Maha berkehendak. Kau jauhkan aku dari ayahku, namun Kau dekatkan dia padaku. Kau uji hatiku dengan takdirMu, lalu kau kuatkan aku dengan takdirMu pula. Maka, nikmatMu yang manakah yang mampu kudustakan?

***

Haaaaa, siapa yang seneng? Hayooo, gimana menurut kalian bab kali ini? XD. Yang komen pendek atau lanjut aja, aku santet! Wkwkwk *Apasih

Tabik~
Susan Arisanti

Pria Gerhana Yang Membawa Cinta Untuk SurgaOnde histórias criam vida. Descubra agora