01 - Kejutan Pertama

2.6K 273 40
                                    

Edo sedang terlelap dalam tidurnya, dan bermimpi indah. Dia baru saja menerima hadiah jam tangan spesial dari kekasihnya. Wanita cantik dengan mantel tebal dan syal merah melilit lehernya tersenyum indah kepadanya, memberikan sebuah kado jam tangan klasik nan mahal harganya.

Edo benar-benar sedang menikmati mimpinya malam itu. Ia sedikit kelelahan setelah seharian penuh berkeliling menjelajah kapal pesiar termegah dan termewah yang pernah ada di negeri ini.

Antara sadar atau tidak, samar-samar Edo mendengar bunyi-bunyi kesibukan pagi hari dalam kapal yang masih bergerak di atas lautan luas. Bunyi-bunyi ombak menyibak perut kapal, bunyi-bunyi langkah kaki satu-dua berlarian di depan kamarnya, di lorong-lorong yang panjang.

Edo masih terlalu asyik tenggelam dalam mimpi-mimpinya. Mata tertutup dengan senyum mengembang. Mimpi yang sungguh indah di hari pertama yang melelahkan.

Di lorong yang bersebelahan dengan kamarnya, lagi-lagi terdengar samar bunyi-bunyi langkah kaki yang berderap. Berlari-lari kecil. Tapi bunyi langkah kaki yang satu ini semakin keras terdengar, semakin mendekat, suaranya pun tak lagi samar, lalu bunyi ketukan yang mengangetkan terdengar menghancurkan mimpi indah Edo di pagi itu. Merusak suasana romantisnya.

Edo berusaha membuka mata, menguap. Dahinya mendadak terlipat. Sesuatu yang telah merusak mimpi indahnya, sesuatu yang menyebalkan. Edo mendengus kesal, melepaskan selimut, lantas bergegas mencuci muka di wastafel.

Ketukan pintu masih membahana. Berkali-kali terdengar. Edo berpikir apakah kapal yang sedang ditumpanginya mengalami masalah yang dalam beberapa menit ke depan akan tenggelam ke dasar lautan.

Edo dengan malasnya membuka pintu, wajah kusutnya masih terlihat.
Adalah Arif yang datang dengan raut wajah panik dan napas sedikit tersenggal.

"Ada... ada sesuatu yang..." Kalimat yang dilontarkam Arif terputus-putus, tubuhnya bergetar seperti baru saja melihat hantu gentayangan. Edo lekas memotong kalimatnya, dan menariknya masuk ke dalam kamar tidurnya.

Edo duduk di atas tempat tidurnya, menatap Arif yang sudah duduk di sebelahnya dengan sangat malas namun disisi lain ada satu pertanyaan besar. Edo yang sedang meregangkan tubuhnya terkejut seketika saat Arif menceritakan kalau ada pembunuhan di dalam kapal mewah ini.

"Apa? Pembunuhan? Kau pasti bermimpi?" Edo berkata santai, tidak terlalu menanggapi apa yang dikatakan teman kuliahnya itu.

Edo kembali merebahkan tubuhnya, dia masih ngantuk.

"Bangun, Edo! Ini serius!" Arif menggoyang-goyangkan tubuh Edo.

Edo mendengus, menggerutu, dan kembali duduk, kelopak matanya masih terlihat merah.

Terdengar lagi suara langkah kaki berlarian di lorong.

"Kau dengar itu? Mereka sedang menuju ke sana. Ayo cepat kita lihat." Arif sudah menarik tangan Edo, yang ditarik malas melangkah.

Sambil berjalan melewati lorong lantai tiga kapal pesiar mewah ini, Arif mencerocos terus, menjelaskan tentang ditemukannya mayat di dalam ruang klasik. Sosok yang dinyatakan tewas itu tanpa adanya luka apapun.

"Bukankah ini kematian yang aneh?"

"Aku tidak tahu, Arif. Lagipula, bisa saja kan dia mempunyai penyakit jantung atau penyakit mematikan sejenisnya." Edo menjawab santai, mengucek mata. Menguap.

Langkah demi langkah dilewati. Mereka berdua bertemu dengan salah satu pelayan kapal pesiar yang sedang mempersiapkan sarapan pagi di ruang makan tengah.

"Bagaimana, Mas, keadaannya?" Arif bertanya.

"Tidak tahu. Aku belum sempat melihat ke dalam. Pekerjaanku banyak sekali pagi ini." Pelayan itu menggerutu kesal.

Mereka berdua melanjutkan langkahnya ke ujung ruang makan. Masuk lagi ke dalam lorong panjang dan belok ke kanan, di ujung lorong inilah ruang klasik yang berisi barang-barang klasik berharga terpajang di dalamnya. Pintu ruangan sudah terbuka lebar, sudah banyak orang di dalam sana.

Edo dan Arif bergidik melihat mayat yang terbujur kaku di lantai dengan mata melotot.

"Bagaimana Dokter Ryu? Apa dia sudah dinyatakan mati?" Sang pemilik kapal termegah yang bernama Tuan Hakan Arazi bertanya dengan raut wajah yang teramat cemas.

Suasana hening sejenak.

"Bagaimana Hakan? Apa kita akan lapor polisi mengenai kasus kematian ini?" Dokter Ryu menatap sosok Hakan Arazi.

"Tidak perlu untuk saat ini. Kita tidak ingin kan rencana peresmian kapal pesiarku ternoda akibat satu orang yang meninggal karena serangan jantung. Sebaiknya kita simpan rahasia ini dulu sebelum kita mendarat ke seberang pulau." Tuan Hakan menghembuskan napas tertekan.

"Sebaiknya bawa mayat ini ke dalam ruang pendingin dulu." Jimmy seorang arsitek yang mendapat undangan khusus dari Tuan Hakan memberi pendapat.

"Ya, itu ide yang bagus, Jim." Tuan Hakan dengan raut wajah shock dan keringat menetes deras memutuskan keluar dari dalam ruangan klasik itu. "Aku akan memanggil beberapan pegawaiku untuk mengurus masalah ini."

Beberapa saat kemudian terlihat dua-tiga pelayan kapal mengangkat tubuh mayat tersebut. Edo dan Arif hanya terperanga melihat para pelayan kapal saling bisik-bisik.

"Tidak usah khawatir anak muda. Ini bukan kasus pembunuhan. Dia memang mengindap penyakit jantung. Apa kalian sudah sarapan?" Jimmy tersenyum ke arah Edo dan Arif yang sedari tadi wajah mereka sedikit ketakutan.

"Belum, Jim. Sepertinya aku tidak berselera untuk makan." Edo berkata lesu. Kelopak matanya masih terlihat merah.

"Kau pasti kurang tidur?" Jimmy terkekeh.

"Ya. Aku mau lanjut tidur dulu. Kalian nikmati sarapan pagi dulu saja." Edo sudah mengambil langkah keluar dari dalam ruangan klasik.

Ruangan lengang sejenak. Hanya menyisahkan Arif, Jimmy, dan Dokter Ryu yang masih memotret tempat kejadian.

Ini jelas bukan kematian biasa. Semua ini pasti sudah terencana. Tidak mungkin orang itu mempunyai penyakit jantung. Aku yakin sekali. Pasti ada pembunuh di antara mereka. Tunggu-tunggu dulu. Surat itu. Aku pernah melihat dia menunjukan surat itu. Surat undangan itu. Aku yakin, semua ini sudah terencana.

Edo mendadak teringat sesuatu tentang surat undangan yang permah diperlihatkan oleh salah seorang tamu undangan Tuan Hakan Arazi. Edo mencoba berpikir di atas kamar tidurnya, sebelum pada akhirnya dia kembali terlelap dalam mimpi indahnya.


(Bersambung)

7 Surat Berdarah (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now