part 7

6.7K 258 19
                                    

Bian mencengkram dua tangan Nila,  mendoronganya dan menekannya di  tembok dengan agak kasar. “Nila liat aku..” Nila hanya menunduk tak mau mengangkat kepalanya. “NILA LOOK AT ME!” Bian membentak sehingga NIla tersentak dan langsung menatap kedua mata Bian yang dari sana terpancar rasa frustasi.

Tiga hari yang lalu

“Gimana persiapannya? Tinggal tiga hari lagi lho.” Bian mengingatkan Nila tentang presentasi yang harus dia lakukan tiga hari lagi.

“Iya pak, masih kurang beberapa detail lagi, “ Nila menghentikan kegiatannya dan menatap Bian, “Terima kasih banyak atas perpanjangan tenggatnya pak Bian.” Nila tersenyum lega.

Bian memandang Nila dengan tatapan lembut, sepertinya Nila tak menyadari hal itu, dia masih terus berjalan kesana-kemari, larut dalam kesibukkannya.

“Aku semalam mimpi kamu.” Kata Bian tiba-tiba.

“A-apa?” Nila merasa dirinya salah dengar.”Tadi bapak bilang apa?”

“Aku mimpi tentang kamu semalam.”

“Oooh..” Nila tersenyum salah tingkah dan kembali melanjutkan pekerjaannya.

“Hmm.. kamu ga pengen tau aku jalan cerita mimpinya?”

“Mmm.. kalau bapak mau menceritakannya ya silahkan.” Nila tak melihat ke arah Bian, dia memeriksa beberapa baju yang terpajang di manekin.

“Kita berenang di pantai, bersenang-senang. Dimimpiku kita begitu bahagia.”

Nila tertawa terbahak, “Apa saya pakai bikini?” Nila bertanya dengan bercanda.

“Ga, kamu pake baju warna putih, sepertinya dress yang biasa kamu pakai.”

“Untunglah, bapak mungkin akan muntah di dalam mimpi kalau saya pakai bikini.”

Bian hanya memandang Nila tanpa mengucapkan apa pun, sehingga Nila melirik Bian yang berdiri di dekat pintu. Nila tak mengerti ekspresi wajah Bian, tapi dia seperti mengenal cara Bian memandangnya, Nila pernah melihat sorot mata yang sama persis. Yaitu ketika Ibu Nila memandang AYahnya yang terbaring di rumah sakit. Sorot mata Sedih? apa karena tubuhnya begitu gemuk sehingga Bian harus merasa sedih?

Bian tiba-tiba tersadar kalau dia termangu memandang Nila. “Ehem..” Bian berdeham, “Ok, Selamat bekerja.”

“Selamat bekerja pak Bian.”

“Kayaknya gue memang jatuh cinta sama Nila.”

Noel mengerenyitkan dahinya, “Disaat-saat kita membahas masalah super penting begini lo malah mikirin hal itu? Daritadi lo ga nyimak apa yang udah gue jelaskan?”

“Nyimak, Cuma tiba-tiba gue pengen aja ngomong begitu.”

Noel menghela nafas dan meletakkan map yang dipegangnya.”Oke, sekarang lo pengen bahas tentang proposal ini,” Noel menunjuk map di depannya. “Atau Nila? Gue pengen fokus Bi.” Meski kelihatannya Noel orang yang tidak bisa serius dan semaunya sendiri, sebenarnya dari dulu, dari belasan tahun lalu, Noel selalu berada di sisi Bian sebagai penasehat yang handal. Noel selalu bisa menemukan cara untuk mengontrol Bian yang sering gamang dan sering galau. Mungkin karena sudah sifat Bian yang melankolis. Ayah Bian tiga tahun lalu berkata kepadanya, “Jadi tolong Noel, saya memberikan kamu posisi ini, selain memang kamu berkompeten, tapi karena memang saya membutuhkan seorang pengawas, ya anggap saja baby sitter, karena Bian itu tidak stabil. Gampang sekali terpengaruh dengan suasana, saya hanya takut dia tidak bisa bersikap professional ketika memimpin perusahaan ini.” Dan Noel menyanggupinya. Maka sekarang disinilah dia berada. Apalagi untuk urusan wanita, ya untuk urusan seperti saat ini.

My 200 Pounds FianceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang