Sekarang Apa?

3.9K 323 11
                                    

Kise menggigit kuku ibu jarinya hingga tanggal. Menyisakan sedikit saja kuku yang tak menempel dengan kulitnya disana, jika tak merasa sakit--mungkin dia akan terus menggigitnya sampai habis tak tersisa.

Resah, gelisah dan juga lelah melanda kise yang sedari tadi berdiri didepan meja resepsionis IGD, menunggu surat konfirmasi atas kepindahan kuroko keruang yang lebih intensif. Tempat dimana beberapa hari lalu, ayahnya juga pernah dirawat disana. Tempat yang menyesakkan menurut kuroko saat itu, tempat yang juga dibencinya.

Oh, apa ini Tuhan? Sekarang apa?
Kau menginginkan Kuroko kami juga?

Apa kau iri dengan kebahagiaan kecil kami, hingga kau ingin mengambilnya dari kami?

Kau tidak adil, Tuhan.
Kau kejam.

Takkan pernah aku serahkan kebahagiaan kami padamu.

Dia adik kami, dan dia milik kami.

Aomine mengepalkan tangannya erat hingga tampak warna putih ditangan tan miliknya itu. Ia menatap sendu wajah damai adiknya yang kini terpasangi peralatan medis menutupi sebagian wajahnya. Ventilator. Alat bantu nafas itu mereka sebut begitu. Sisanya, sebuah penjepit jari mirip dengan jepitan yang biasa digunakan untuk menjemur pakaian--bertengger manis disalah satu jari tangan Tetsuya, penghitung nadi katanya.

Yang lainnya, Aomine tidak tahu lagi. Ia sudah hilang fokus saat dokter menjelaskan satu persatu alat yang dipasangkan pada tubuh Tetsuyanya, ia memikirkan hal lain, hal yang menyangkut tentang penyebab Tetsuya dipasangi alat-alat bodoh itu.

Selaput otak Tetsuya mengalami peradangan, terserang Virus meningitis. Itu yang Aomine dengar dari dokter yang menanganinya, itu bukanlah penyakit mudah, jika dia tak salah dengar. Pengindapnya bisa mengalami koma panjang, dan bahkan meninggal diwaktu dekat. Sungguh, mendengar itu Aomine bagai tersentak oleh ribuan volt sengatan listrik atau mungkin kita menamainya tersambar petir disiang hari yang terik, tanpa hujan.

Belum selesai, ia juga mendengar dokter itu mengatakan bahwa peradangan itu sudah mulai menyebar dikepala adik bungsunya. Karena itu, ia harus memastikan bahwa adiknya terus berada dadalam pengawasan dokter.

Untuk kondisi saat ini, dokter masih belum menemukan apa penyebabnya. Mereka hanya menduga jika pasiennya itu terlewat stress memikirkan sesuatu. Bagai jatuh kedalam jurang yang dalam, dengan batu beton yang menyusul untuk menimpanya, Aomine menggigit bibirnya hingga berdarah. Sulit sekali baginya untuk menghadapi pahitnya pil kehidupan. Dulu ibunya, keemudian ayahnya dan sekarang ...

Tetsuyanya.

"Bahkan hujanpun, takkan rela jika warna langit itu terus tertutup." kata Aomine ditengah kegundahannya.

Ia bertekad, apapun yang akan terjadi takkan pernah ia biarkan siapapun membawa adiknya. Tidak ada yang boleh meruntuhkan langit cerah musim seminya, warna biru itu akan tetap jadi miliknya. Tuhan pun tidak akan dia biarkan. Jika langit merasa iri dengan kebahagiaan kecil yang dimilikinya dan adik-adiknya, maka dia hanya perlu menghancurkan langit.

Perlahan kise mendorong pintu yang menghalangi jalannya itu. Setelah jarak terlewati, ditatapnya Aomine yang tengah mengusap lembut tangan adiknya. Lihatlah, tangan itu masih begitu kecil. Tangan yang seharusnya dia gunakan untuk menunjuk jajanan kue di Toko yang ia lihat. Bagaimana bisa ada yang tega membuatnya tergelatak tak berdaya.

Please, Don't Cry & Don't GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang