Kami semua makan dalam diam. Tiba-tiba mama meletakkan sendok dan garpunya dengan sedikit keras, yang buat gue sama Ragel berhenti makan dan menoleh ke arahnya.

"Mama mau cerai aja," ucapnya dengan wajah cemberut.

Gue dan Ragel langsung saling pandang lalu sama-sama menggeleng tidak mengerti.

"Papa kamu, sampai sekarang gak ada ngubungin Mama. Ini tuh udah satu hari dia gak ngubungin Mama."

"Baru juga satu hari Ma," ucap Ragel. Gue langsung mendelik ke arahnya agar ia tak memperburuk suasana.

"Tapi biasanya dia ngubungin Mama setiap hari. Mama tuh kangen, ngerti gak sih? Kalian ngerti gak sih? Mama tuh gak bisa jauh-jauh dari Papa kamu."

"Yaudah, Mama nyusul Papa aja sana," ucap Ragel kembali.

Mama langsung menoleh ke arah Ragel dan berkata, "serius kamu?"

"Iya serius, Ma. Iya 'kan Chel?"

Gue yang syok langsung gelagapan. "Ha, i ... iya."

"Yaudah, Mama udah packing tadi malam. Terus udah mesan tiket juga. Nanti anterin Mama ke bandara, ya?" Sekarang mama sudah merubah rautnya dengan ceria.

"Sekarang?" tanya gue dan Ragel bersamaan.

"Iya sekarang, Mama udah kangen banget tau sama Papa kamu," rengeknya.

Gue mah bingung, disini yang anaknya siapa. Tapi yang rengek manja siapa. Dan gue yakin, raut sok sedihnya dia cuma alibi. Dasar, mak tak bertanggung jawab.

•••

Gue lagi bersantai menonton tv sambil makan snack yang baru gue beli tadi sepulang mengantar mama ke bandara dengan Ragel.

"Chel, masakin gue dong. Gue laper." Tiba-tiba Ragel datang merusak acara menonton gue.

"Mau mati, lo? Gue kan gak bisa masak."

Dia yang berpindah tempat menjadi duduk di samping gue merampas cemilan gue. "Mama kira-kira kapan pulangnya, ya?"

Gue langsung meliriknya tajam. "Siapa suruh bolehin Mama pergi nyusul Papa. Siapa suruh?"

"Kan kasian, Chel. Lo gak ngerti sih, rasanya jadi cowok melihat seorang perempuan bersedih, rasanya itu seperti teriris-iris."

"Alah, jahanam lo. Lo kira gak pulang berhari-hari itu gak buat Mama sedih?"

"Yeu, sedih lah. Cuma 'kan gue gak liat."

Gue langsung menempeleng kepalanya dengan geram. "Mendingan lo delivery sana gue laper!" perintah gue.

"Siapa lo merintah-merintah."

"Eh, inget! Gue lebih tua dari lo! So, lo harus nurut kata gue, okey adik manis?"

"Biadab, gue diberlakukan tidak adil di sini!"

•••

"Chel, itu di depan kenapa banyak banget paket-paket sama bunga?" tanya Ragel yang datang masuk ke dalam kamar gue. Gue hanya diam malas menjawabnya. "Mereka gak capek apa ya masih, ngirimin lo barang-barang gak guna itu? Padahal udah tau lo gak bakal nerimanya dan bakal dibuang," lanjutnya.

"Ya ... begitulah," jawab gue dengan malas. Gue lagi sibuk mengecat kuku.

"Gimana, kalau kita tukaran aja Chel," ucap Ragel yang buat gue menatapnya bingung.

"Tukaran apa?"

"Tukaran sekolah. Mama kan gak ada tuh, gue penasaran aja. Kalo di rumah aja mereka masih berani ngirim-ngirim lo bunga sama paket-paket gak jelas itu. Apa lagi di sekolah 'kan?"

"Maksut lo?" Gue masih bener-bener gak ngerti dengan apa yang dia maksut.

"Lo jadi gue dan gue jadi lo."

"WHAT?" pekik gue yang buat kuku gue jadi celemotan. "Lo gila jangan ngajak-ngajak gue deh. Kasian Mama Papa harus menanggung punya dua anak gila."

"Gue gak gila Rachel. Ide gue ini brilian. Kalo kita tukaran sekolah, lo gak perlu sedih lagi."

"Sedih, for what?"

Ragel berdecak. "Alah gue tau, temen-temen lo banyak yang munafik dan gue tau ampir tiap minggu lo sedih karna gak pernah punya temen-temen yang beneran tulus sama lo 'kan? Kalo lo, di sekolah gue. Lo bakal punya temen-temen yang lo mau itu."

"Temen-temen yang buat lo jadi gak bener itu yang lo maksut? Sorry, mendingan gue punya temen munafik dari pada temen yang bawa gue ke hal yang buruk."

Ragel tampak tak terima. "Chel, gak selamanya yang terlihat buruk itu yang paling buruk dan gak selamanya yang terlihat baik itu yang terbaik. Kadang kala bisa sebaliknya. Ingat, Don't judge a book by its cover, right?"

Okey, harus gue akui semua yang dia bilang itu benar. Sangat-sangat benar, tapi apa harus gini caranya. Gue gak boleh terlena dulu sama ide Ragel ini. Dia itu gila, ngelakuin semuanya semau dia dan gue gak mau ikut dalam permainan kegilaan dia itu. Mendingan gue nolak dia secara halus, agar semuanya aman terkendali.

"Ragel, walaupun kita itu kembaran. Kita itu beda kelamin, Gel. Lo cowok dan gue cewek. Kita itu jelas beda dan lo ngajak tukeran sekolah, nenek lu nungging."

"Nenek gue nenek lo juga bego!"

"Oiya, maapkan cucumu ini nenek."

"Jadi, lo setuju 'kan?"

"Siapa bilang gue setuju! Gue gak mau."

"Chel, sampai Mama Papa pulang aja kok. C'mon gue jamin lo gak bakal nyesel deh."

"Mana bisa Gel. Dari penampilan aja kita itu udah beda."

"Tapi wajah kita itu bener-bener bagai pinang di belah dua Rachel! Cuma penampilan aja kok bisa diatur itu."

Gue menghela napas dengan sebal, meliriknya dengan tajam dan semoga keputusan yang gue ambil, gak buat gue menyesal nantinya. Gue pun mengangguk perlahan.

Tuhan, Mama, Papa maafin Rachel yang udah nurutin ide gila si Ragel. Gue terjebak dengan permainan gila Ragel, semoga gue bisa keluar dengan selamat nantinya, aamiin.

The Most Wanted Girl (Telah Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang