Chapter 2

32.2K 903 7
                                    

            Dengan tergesa-gesa Karisa berlari ke arah kamar 208 tempat Opa Ramlan dirawat. Dengan gusar Karisa membuka pintu dan menatap tajam kepada Opa Ramlan yang sedang menonton TV. “ OPA!”

            Opa Ramlan tersentak kaget mendengar teriakan Karisa. Dia memegang dada kirinya sambil berusaha bernafas karena terkejut mendengar teriakan Karisa. Denyut jantungnya berdetak lebih cepat dan tidak teratur. Melihat Opa Ramlan yang terkejut Karisa langsung menghampirinya. “ Maaf Opa. Karisa nggak bermaksud buat ngagetin Opa,” ujar Karisa dengan tampang menyesal.

            “ Opa nggak apa-apa. Opa Cuma kaget aja,” ujar Opa Ramlan sambil mengatur nafasnya.

Ekspresi wajah Karisa langsung berubah lega dan kembali melanjutkan aksi protesnya.“ Opa juga bikin Karisa kaget. Barusan Karisa nginep di rumah Mama.”

Opa Ramlan membelalakkan matanya setelah mendengar pernyataan Karisa. “ Kamu.. ngapain disana?” tanya Opa Ramlan gugup.

“ Karisa kangen sama Mama. Karisa abis beres-beres disana. Tapi bukan itu yang Karisa maksud. Opa, siapa Octasia Nayasiwi? Kenapa dia dan anaknya bisa tinggal di rumah Mama?” tanya Karisa tegas langsung ke pokok permasalahan.

Opa terdiam sejenak untuk memikirkan apa yang harus disampaikannya kepada Karisa. Suasana hening berlangsung cukup lama. Setelah yakin dengan pikirannya, Opa akhirnya buka mulut. “ Octasia Nayasiwi adalah anak haram dari mendiang eyang putrimu. Eyang kakungmu marah besar karena eyang putri selingkuh. Namun, setelah kelahiran Siwi, usaha ayam goreng kremes mereka melejit dan berkempang pesat. Siwi dipercaya sebagai anak pembawa keberuntungan sehingga dia sangat dimanja. Karena terlalu dimanja, Siwi jadi salah pergaulan dan sempat membuat malu keluarga besar. Eyang kakungmu tetap mempertahankan Siwi karena dia pembawa keberuntungan, namun eyang putrimu tidak. Akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai. Usaha ayam goreng kremes mereka terbagi menjadi dua. Eyang putrimu bekerja keras agar usahanya bisa besar,” mata Opa Ramlan berkaca-kaca.

“ Kalau Tante Siwi benar-benar pembawa keberuntungan sudah pasti dia menjadi orang sukses sekarang. Tapi, mengapa sekarang dia tinggal di rumah Mama?”

“ Siwi menikah dengan lelaki bajingan yang menguras harta bendanya termasuk harta benda eyang kakungmu. Eyang kakungmu sangat murka tapi dia sangat sayang dengan Siwi. Setelah rumahnya disita oleh bank untuk membayar hutang, Siwi mengemis kepada eyang kakungmu agar mendapat tempat tinggal. Eyangmu ingat wasiat mendiang ibumu untuk keluarganya. Sebelum usiamu 21 tahun, seluruh asset perusahaan dipegang olehku namun harta tak bergerak seperti rumah dan tanah dikelola oleh eyang kakungmu. Karena itu eyang kakungmu menyuruh mereka tinggal di rumah ibumu,” Opa Ramlan menghela nafas panjang setelah mengakhiri ceritanya.

“ Tapi, kenapa eyang kakung nggak kasih tahu hal ini sama Karisa?”

“ Karena kamu pasti menolak. Lagi pula, eyang kakungmu berpikir kamu pasti masih tidak mau kembali ke rumah itu.”

Karisa terdiam sesaat, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia belum bisa berkuasa penuh sebelum usianya 21 tahun. Lagi pula, apa salahnya membantu saudara yang sedang dalam kesusahan. “ Pantes aja mereka nggak kenal Karisa. Malahan Karisa dianggap pembantu disana,” celetuk Karisa memecah keheningan.

Opa Ramlan mengangkat alisnya. Sebuah ide brilian terlintas di kepalanya. “ Bagus dong. Kalau gitu kamu kerja jadi pembantu aja disana,” celetuk Opa Ramlan tiba-tiba.

“ Apa!? Maksud Opa?” Karisa tidak percaya dengan apa yang Opa Ramlan minta.

Senyum licik muncul di wajah Opa. “ Hitung-hitung sekalian kamu belajar jadi ibu rumah tangga yang baik. Belajar masak, nyuci, ngepel, nyeterika dan bersih-bersih,” jawab Opa sambil tertawa terbahak-bahak.

“ Opa.. Opa serius pengen Karisa jadi pembantu?” tanya Karisa sambil memanyunkan bibirnya tanda tidak setuju.

“ Iya. Supaya kamu belajar mandiri. Serahkan semua pekerjaanmu sama Opa. Kamu tinggal focus kuliah dan kerja jadi pembantu,” jawab Opa dengan yakin sambil menepuk Karisa.

##***##***###

Hujan lebat tiba-tiba mengguyur ketika Karisa hendak kembali ke rumah itu. Karena Audi A4 kesayangannya sedang di servis, Karisa menggunakan bis atau angkot untuk pergi kemana-mana. Karena tidak menemukan toko yang menjual payung di jalan, Karisa pun memutuskan untuk membeli jas hujan yang di jual murah di emperan. Setidaknya barang-barangnya tidak basah terkena air hujan. Sesampainya di rumah, Karisa langsung bergegas ke garasi rumah untuk melepas jas hujan namun seseorang dari arah pintu masuk mencegahnya.

“ Eh, lo! Dari mana aja? Mana rokok yang gue minta?” seru seorang lelaki.

Karisa terdiam sejenak dan melihat sekitar. “ Kamu nanya aku?” tanya Karisa setelah yakin bahwa tidak ada orang lain selain dirinya disana.

“ Iya. Lama amet sih beli rokok. Mana rokok gue?” pintanya sambil menengadahkan tangannya ke arah Karisa.

Karisa geram melihat tingkah sok lelaki di hadapannya. Namun, dia harus bersabar agar amarahnya tidak meledak. “ Mungkin tadi kamu manggil Mbok Inah. Saya baru saja sampai disini,” jawab Karisa berusaha sopan.

Lelaki itu memandangi Karisa dari ujung kepala sampai ujung kaki. “ Oh iya. Barusan kan gue nyuruh nenek-nenek gembrot bukan lo. Oh iya, nama lo siapa?” tanya Raka sambil berkacak pinggang.

Karisa berpikir sejenak. Mungkin ada benarnya juga apa yang Opa Ramlan bilang. Karisa harus mencoba bekerja sebagai pembantu disini dan dia harus menyamar agar Tante Siwi dan anaknya tidak curiga. “ Risa. Nama saya Risa.”

“ Oohh.. kebagusan buat nama pembokat,” celetuk Raka. “ Oh iya, buruan masuk terus bikinin gue makan malem,” ujarnya dengan nada memerintah yang dibenci Karisa.

“ Iya,” jawab Karisa dengan nada malas. Karisa bergegas ke dapur lewat garasi agar cepat-cepat pergi dari hadapan makhluk menyebalkan yang barus saja mengajaknya bicara. Namun, sebelum dia berjalan jauh, Raka menghalangi jalannya. “ Oh iya, jangan lupa. Panggil gue Den Raka. Jadi pembantu juga harus punya sopan santun,” ujarnya dengan dagu ke atas.

Karisa membelalakan matanya tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Sombong sekali orang ini minta dipanggil ‘Den Raka’ segala. Seumur hidup Karisa dia tidak pernah meminta dipanggil ‘Non Karisa’. Para pembantunya sendirilah yang memiliki inisiatif untuk memanggilnya seperti itu. “ Penting ya harus manggil kayak gitu,” gerutu Karisa.

“ Penting dong. Kan gue yang berkuasa di rumah ini,” ujarnya dengan tatapan sinis.

Ingin sekali Karisa menarik kepala Raka dan menggoroknya dengan golok berkarat. Karisa sudah tidak tahan melihat tingkah sok Raka. Namun, dia berusaha menahan amarahnya setelah mengingat pesan Opa Ramlan. “ Iya. Den Raka,” Karisa menekankan pada kata ‘Den’ sebelum dia beranjak pergi meninggalkan Raka yang berdiri memandanginya dengan tatapan kesal. Perang dunia ketiga sepertinya akan segera dimulai.

Well.. cerita baru saja dimulai.. keep reading guys

Cerita ini special kupersembahkan untuk Mama tercinta, Ellyana Yuly Rossa Mauthy, dalam rangka hari ibu 22 Desember 2011. Love you mom!!

Billion Dollar MaidWhere stories live. Discover now