Bagian 5 : Dua Warna yang Memiliki Arti

3.8K 400 103
                                    

Kakiku berjalan terseok-seok secara paksa mensejajarkan langkah lelaki itu. Dia menarik tanganku seenak jidat ke suatu tempat yang tak tahu tempat apa itu, karena ruangan ini begitu gelap. Sangat gelap.

Kegelapan membuatku mengingat kembali masa laluku. Masa lalu yang tidak bisa pudar dari ingatanku. Mengingat itu, aku merasa kembali gila. Kematian orang tuaku adalah kesedihanku yang sangat perih dari pada tertusuk oleh benda tajam yang menusuk jantung. Mereka berdua belahan jiwaku. Mereka adalah lambang kelahiranku. Mereka adalah cinta keluargaku. Dan mereka adalah kebahagiaanku karena telah membawaku ke dunia.

Aku belum berterima kasih pada orang tuaku telah merawat dan memberikanku banyak kenikmatan. Tuhan telah mengambil mereka dengan sangat cepat. Namun, dendamku tak pernah luntur untuk mencari siapa pembunuh orang tuaku agar aku bisa memberikan dia hukuman mati oleh pedangku sendiri. Membunuh pembunuh itu di depan banyak orang. Entah kapan hari itu akan datang—aku tak tahu. Apapun yang menghalangiku, aku akan tetap maju. Demi kebenaran kasus kematian orang tuaku agar aku tidak akan menjadi arwah bergentayangan setelah aku mati.

"K-kau membawaku ke mana?" tanyaku mulai takut dengan keadaan gelap ruangan.

Tepat kami berhenti melangkah dan aku mendengar pintu yang tertutup bersama suara kenop pintu dan sedikit lama aku menunggu jawaban dari pertanyaanku, lelaki yang kelihatannya masih memegang tanganku itu pun menjawab.

"Ke kamarku," jawabnya dengan nada rendah namun aku bisa mendengar suara lelaki itu.

Aku membelalakkan mata. "A-apa? Kamarmu??!" ulangku berharap aku salah mendengar.

"Iya, kamarku," balasnya mengiyakan ulanganku.

Ini gila! Dia membawaku ke kamarnya? Lalu, setelah itu apa? Dan, kegelapan ini apa karena tombol lampu tidak ditekan? Atau sedang ada perbaikan listrik? Aku tak tahu. Tapi yang pasti, aku dilanda kebingungan yang justru membuat pikiranku semakin berlari ke atas.

"Cih!" Tidak kuduga aku bisa berdecih dengan keadaan gelap seperti ini.

Lantas aku melepas genggaman tangannya dari tanganku dan otomatis dikendalikan oleh emosi, tepat tanpa melihat karena gelap, aku merasa telah mengenai telapak tanganku ke pipi seseorang dengan pedas. Wajah lelaki yang membawaku. Aku menamparnya. Ya, menamparnya.

Sungguh, aku tidak sengaja. Aku terlalu sering melakukan kekerasan, tapi hanya pada Jessy saat dia membuat sebuah kesalahan yang sukses menaikkan emosiku. Aku tidak terlalu tega menamparnya. Paling enaknya, aku menyikut sikutku ke pinggangnya atau menginjak kakinya, itu sudah membuat Jessy kesakitan dan merasa bersalah. Itu pun kalau dia masih bisa menghinaku, aku akan melemparnya dengan kursi tanpa berpikir lagi.

Beberapa menit berlalu setelah aku menampar wajah lelaki itu, suara tombol lampu tertekan dan kegelapan itu telah lenyap oleh cahaya satu bola lampu di atas kepala. Semua terlihat jelas setelah kegelapan tidak lagi mengepung mataku. Yang pertama aku lihat adalah tempat tidur mewah, jendela tidak bertirai, meja yang dipenuhi oleh banyak belati yang sepertinya masih dalam pembuatan, dan masih banyak lagi perabotan kamar serba berkilau menghias ruangan bercat putih-biru ini.

Dan mataku memandang lelaki di hadapanku mulai dari ujung kaki sampai puncuk kepala. Oke, dia tinggi beberapa centi dariku. Mungkin lebih menang tinggi Cello dari pada dia. Tapi dia sukses membuatku menengadah untuk melihat wajah dan matanya.

Merah.

Apa benar dia punya warna mata merah? Ataukah itu hanya pupil palsu? Aku ingin memastikan, tapi bagaimana caranya? Bertanya? Memang benar kalau ingin tahu kebenarannya, aku harus bertanya. Tapi kalau hanya urusan warna mata, apa ada yang peduli? Mungkin banyak yang cuek akan warna mata. Kecuali jika ada satu dari milyaran manusia mendapat mata tujuh warna. Dan itu sangat tidak bisa dimasukkan secara akal karena mustahil.

Silver QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang