Hallo Gavin 23

13.9K 951 4
                                    

Hari ini Ayleen sudah kembali lagi ke Indonesia. Semua urusannya di Singapura sudah selesai. Untuk itu, ia memutuskan untuk langsung menjemput Gavin di rumah Farah. Ia tak enak dengan keluarga Farah kalau terlalu lama merepotkan mereka. Walaupun ia tahu keluarga Farah sangat menyayangi Gavin dan sudah menganggapnya seperti anak sendiri.

Ayleen memencet bel rumah Farah, tak lama Farah pun langsung keluar dan mempersilahkan Ayleen masuk.

"Gimana perjalanannya?" tanya Farah basa-basi.

"Alhamdulillah Mbak. Semuanya lancar," jawab Ayleen sambil meminum teh buatan Farah.

"Gimana hasilnya Lin?" Farah bertanya lebih serius.

"Gavin sekarang ga' boleh lagi terlalu capek. Jadi ia tak bisa lagi bermain basket Mbak." ucap Ayleen menyesal.

"Kamu serius? Basket kan sudah menjadi hidupnya Gavin? Gimana nanti Lin?" Farah ikut sedih mendengarnya.

"Nanti aku minta pihak sekolah mengeluarkan Gavin Mbak." Ayleen sangat sedih mengucapkannya. Tapi ia harus melakukan ini. Ini demi kebaikan anaknya.

Tak lama kemudian Jasmine dan Gavin pulang. Mereka melihat Ayleen yang sudah disini.

"Mama? Mama udah pulang?" Gavin lalu salim sama Ayleen diikuti Jasmine.

"Iya sayang!" jawab Ayleen singkat.

"Hai Tante!" ucap Jasmine menyapa Ayleen.

"Hai sayang. Makasi ya udah bantuin Tante jagain bocah nakal ini," ucap Ayleen melirik ke arah Gavin.

"Iya Tante," jawab Jasmine terkekeh. Gavin hanya cemberut mendengarnya.

"Sekarang cepat beresin barang kamu. Kita pulang sekarang!" Gavin lalu berjalan gontai ke kamarnya. Sebenarnya ia masih betah di sini.

Tak lama, Gavin kembali lagi dengan membawa tasnya. Lalu mereka pamit kepada keluarga Jasmine yang kebetulan hanya ada Jasmine dan Farah.

"Makasi ya Mbak. Sudah mau bantuin aku," ucap Ayleen tulus.

"Iya sama-sama. Gavin anak yang baik," jawab Farah. Lalu mereka berpelukan.

Setelah selesai acara pamitan akhirnya Ayleen dan Gavin meninggalkan kediaman Farah. Ada rasa sedih menghinggapi hati Jasmine. Ia tak rela Gavin meninggalkan rumahnya. Karena ia sudah mulai terbiasa dengan keberadaan pemuda itu di rumahnya.

***

Keesokan harinya sepulang sekolah, Gavin memutuskan untuk latihan basket lagi. Ia merasakan sudah cukup pulih sekarang. Ia tak mau buang-buang waktu. Karena tak lama lagi turnamen akan dilaksanakan.

Saat memasuki lapangan, teman-temannya hanya memandanginya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Ayo mulai," ucap Gavin memantulkan bola. Tapi teman-temannya hanya diam. Tak lama pelatih mereka masuk.

"Pak, mereka ga mau latihan," ucap Gavin kepada pelatihnya. Pelatih hanya diam dan memberikan sebuah surat.

Karena penasaran, akhirnya Gavin membuka surat itu dan membacanya. Kemudian ia meremas isinya.

"Saya dikeluarkan?" tanyanya kecewa.

"Maaf Gavin. Kami terpaksa mengeluarkan kamu," ucap pelatih menyesal.

Gavin lalu pergi meninggalkan lapangan dengan perasaan yang sangat kecawa. Ketiga temannya berusaha mengejar tapi hanya dihiraukan Gavin.

Ia lalu memasuki mobilnya dan memacunya dengan kecepatan tinggi. Ia membawanya tak tentu arah. Sampai ia pergi ke sebuah clup. Ia masuk kedalam dan duduk di sebuah bangku di sana. Ia sangat butuh pelampiasan. Jadi ia memutuskan untuk minum.

Tak lama kemudian Alden datang dan menemuinya.

"Lo masih berani minum?" tanya Alden mengejek.

"Kalau lo mau ngajak ribut, gue lagi ga' mood," ucap Gavin sambil meminum minumannya.

"Santai bro! Gue kesini ga' pengen ribut."

"Lalu ngapain lo masih di sini?"

"Gue cuma mau ngobrol sama 'sahabat' gue."

"Sebenarnya lo kenapa sih? Kenapa lo selalu teror gue?"

"Karena lo udah bunuh adek gue."

"Lo terus bilang gue pembunuh. Tapi gue ga' tahu apa masalahnya." Kali ini Gavin mulai frustasi. Ia tak terima dikatakan sebagai pembunuh.

"Lo bego atau apa sih? Lo ga' ingat?"

"Kalo gue ingat, gue ga akan bingung kaya gini."

"Lo ingat Tiara, cewek gendut di smp lo? Dia adek gue." Gavin terkejut. Ia tak tahu kalau Tiara adeknya Alden.

"Dia sangat tergila-gila sama lo. Tapi apa? Lo ga' anggap dia. Hingga dia di bullypun lo tetap ga' peduli." Gavin merasa kepalanya sangat pusing sekarang. Tapi ia masih mau mendengar penjelasan Alden.

"Dia ngirim surat buat lo! Tapi surat itu diambil fans lo dan diumumin di mading. Belum lagi ia menerima bullyan fisik maupun psikis. Hingga akhirnya ia bunuh diri." Gavin merasa kepalanya tambah sakit mendengar penjelasan Alden. Hingga ia sudah tak kuat lagi.

"Arrgghh!" teriaknya memegang kepalanya.

"Lo kenapa?" tanya Alden mulai panik.

"Argghh ..." teriak Gavin lagi hingga diapun tak sadarkan diri.

Alden yang panik lalu meminta orang-orang yang ada di situ untuk mengangkat Gavin menuju mobilnya.

Setelah itu, ia membawa Gavin ke rumah sakit. Kebetulan rumah sakit itu rumah sakit milik Bian, Papa si kembar.

"Dokter tolong!" teriak Alden saat Gavin telah di bawa ke ruangan.

"Astaga Gavin!" Bian lalu memeriksa Gavin.

Lalu tak lama Ayleen pun tiba bersama teman-teman Gavin. Melihat Alden, Ronald tiba-tiba emosi.

"Lo apain Gavin?" ucapnya menarik kerah kemeja Alden.

Ayleen yang melihat kejadian itu lalu melerai keduanya.

"Cukup ... ini bukan saatnya salah-salahan!" ucap Ayleen tegas. Ronald mengurungkan niatnya dan melepaskan cengkramanya pada kerah baju Alden. Ia menghargai Ayleen. Tak lama, Bian keluar.

"Gimana Bi? Gavin ga papa?" tanya Ayleen panik.

"Ia cuma stres. Ada kejadian yang membuatnya begitu tertekan hingga jadi seperti ini." Bian menjelaskan.

"Dia tadi dikeluarkan dari tim basket Pa," ucap Devan tiba-tiba.

"Mungkin karena itu. Sebaiknya usahakan agar Gavin tidak stres. Ini ga baik untuk kesehatannya!"

"Sebenarnya ini ada apa sih?" Davin yang tidak mengerti masalahnya bertanya. Semuanya hanya diam.

"Pa ... sebenarnya Gavin kenapa?" ucapnya kali ini bertanya pada Papanya. Bian menghela nafas. Ia tak berhak memberi tahu.

"Gavin terkena kanker otak." ucap Ayleen. Semuanya shok mendengar perkataan Ayleen. Tapi yang paling syok adalah Gavin sendiri. Ia mendengar percakapan Ibu dan teman-temannya.

Gavin POV

"Apa?" Gue merasa seluruh tubuh gue lemah mendengarnya. Katakan yang gue dengar tadi salah!

Awalnya gue kaget kenapa bisa berada di sini. Tapi ketika gue hendak bertanya, ternyata gue malah mendengar sesuatu yang sangat mengerikan. Gue ga' percaya ini semua. Gue harus pastiin kalau ini semua ga' benar.

"Gavin ... kamu kenapa disini?" Tiba-tiba dia bertanya kenapa gue disini? Hebat!

"Bilang kalau yang aku dengar salah!" Gue berusaha memastiin.

"Gavin ..." mama mulai nangis. Ini yang paling buat gue ga' kuat.

"Jadi benar?" tanya gue lemah. Mama hanya menganggukan kepalanya.

Gue meremas rambut dan pergi meninggalkan mereka semua. Terakhir gue dengar Mama menangis sambil meneriakkan nama gue.

"Maaf Ma! Aku benar-benar kecewa sekarang. Aku butuh waktu untuk menerima ini semua."

Tbc....

Hallo Gavin (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang